Puluhan tahun kemudian tahu sumedang menjadi jenis makanan tradisional
yang terkenal sekaligus menjadi penyambung hidup masyarakat Sumedang, Jawa
Barat.
Bupati Sumedang (1883-1919) itu adalah pemimpin paling dicintai rakyat
yang ilmu agamanya terkenal kuat. Keteladanan itu juga membuat masyarakat
yakin, setiap perkataan sang bupati pasti terkabul. ”Saciduh metu,
saucap nyata” (sekali meludah berhasil, sekali mengucap jadi
kenyataan), kalimat kiasannya dalam bahasa Sunda.
Salah satu tuahnya turun pada usaha pembuatan tahu di Kabupaten
Sumedang. Ia juga dijuluki ”Pangeran Mekkah” karena wafat saat
menunaikan ibadah haji di Mekkah pada usia 70 tahun. Ia juga merupakan
bupati pendiri sekolah pertanian pertama di Indonesia tahun 1941 dan Bank
Prijaji pada 1901.
Suatu hari, dalam perjalanan menuju tempat peristirahatannya di
Situraja, Sumedang, Soeriatmadja mencicipi tahu buatan Ong Kino yang dijual
di depan rumahnya di pinggir Jalan Tegal Kalong, Sumedang (kini menjadi
Jalan 11 April), sekitar tahun 1917. ”Petuah” itu pun meluncur
dari mulutnya.
Hingga 95 tahun kemudian, doa bupati ke-20 Sumedang itu terbukti
langgeng. Diiringi etos kerja tekun dan telaten ala masyarakat Tionghoa,
usaha tahu pun berkembang. Tenaga pribumi diajak ikut serta sehingga ilmu
tahu tersebar luas. Kini, keahlian membuat tahu menjadi bekal hidup banyak
warga Sumedang.
Dengan kerenyahan, tekstur khas, dan melibatkan ribuan orang Sumedang,
tahu menjadi produk khas. Asal berukuran 3 cm x 3 cm atau 2,5 cm x 3 cm,
berwarna coklat muda, kulit berintik, renyah, dan gurih, di seluruh
Indonesia biasanya dinamai tahu sumedang. Padahal, tidak semua penjual atau
cara pembuatannya dilakukan orang Sumedang.
”Cur cor”
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran Nina Herlina Lubis
mengatakan, pasca-penghapusan larangan tinggal, sekitar tahun 1856, banyak
orang Tionghoa mulai masuk Priangan Timur, termasuk Sumedang. Berdasarkan
sensus tahun 1930, jumlah orang Tionghoa di Sumedang 905 jiwa. Bandingkan
dengan orang Eropa yang berjumlah 258 jiwa.
Celah bisnis dikembangkan perantau Tionghoa, Ong Kino, yang tiba di
Sumedang awal abad ke-20. Awalnya, istri Ong Kino membuat tahu guna
menuntaskan kegemaran makan suaminya. Perlahan, enaknya tahu mulai dikenal
masyarakat Sumedang dan dijual di depan rumahnya. Warga Tionghoa lainnya
juga ikut menjual tahu menggunakan merek Palasari dan Ojolali.
Berada di kaki Gunung Tampomas, Sumedang tidak pernah kekurangan air
tanah. Air terus mengalir. Cur cor, kalau kata orang Sunda. Kualitas air
Sumedang sangat cocok untuk membuat tahu. Sama seperti kebanyakan daerah
penghasil tahu di China Selatan, air di Sumedang berkalsium, membuat tahu
kenyal tanpa pengawet.
Selain anugerah alam, pengelolaan bahan dan cara masak khas Tionghoa
juga menjadi kunci selanjutnya. Pemilik Toko Bungkeng, Suryadi, mencontohkan
cara membuat tahu jadi padat berisi. Ia mengatakan, awal menggoreng adalah
proses penting. Minyak harus benar-benar panas sebelum tahu
dimasukkan.
Cara khusus lain juga dilakukan untuk menghasilkan tahu berkulit
berintik. Ia mengatakan, tahu harus dimasukkan dalam keadaan basah. Dulu,
untuk menambah kenikmatan, tahu digoreng menggunakan minyak kacang tanah.
Akan tetapi, sekarang minyak kacang tanah berkualitas sulit
didapatkan.
”Nyaris tidak ada rahasia. Selebihnya hanya kedelai yang
digiling. Hasil gilingan dikukus menjadi tahu dan dimasukkan ke air garam.
Setelah itu tinggal digoreng,” katanya.
Kebersihan alat dan kontrol gilingan kedelai juga tak kalah penting.
Pemilik perusahaan tahu Mirasa Sindang Sari, Hernawan Safari, mengatakan,
kebersihan alat penting karena sisa kedelai bisa membuat seluruh adonan baru
menjadi asam. ”Mencicipi contoh adonan setiap hari juga harus
dilakukan untuk menjaga kualitas dan rasa,” katanya.
Setia
Hujan belum juga berhenti mengguyur Sumedang, akhir pekan pada
pengujung tahun 2011, saat sekitar 200 tahu di Toko Bungkeng habis terjual
dalam waktu seperempat jam. Pembelinya mayoritas warga Sumedang yang
sepertinya ingin melewatkan sisa hari yang dingin itu sembari makan tahu
ditemani segelas teh manis panas.
Darso (56), warga Cipasang, Cibugel, Sumedang, mengatakan hanya membeli
tahu buatan asli Sumedang sejak 20 tahun lalu. Kekenyalan dan kerenyahan
tahu menjadi pemikatnya. Tahu juga tidak mudah asam dalam satu-dua hari.
”Tahu yang baru selesai digiling dan langsung digoreng adalah yang
paling nikmat. Saat hujan, kenikmatannya lebih terasa,”
katanya.
Dedi (57), pelayan di Toko Bungkeng, mengatakan, saat musim libur
panjang, 10.000 tahu seharga Rp 400 per tahu terjual per hari. Pembelinya
mengular di depan toko dari pagi hingga sore. Wisatawan luar negeri dari
Singapura dan Malaysia pun ada di antara mereka.
”Kami harus membuat nomor antrean. Bisa sampai seribu nomor per
hari,” kata Dedi. Di pinggiran jalan Bandung-Sumedang, Unjang (38)
merasakan hal serupa. Saat musim libur, pedagang ini bisa menjual hingga
2.000 tahu per hari. Jumlah itu jauh lebih besar ketimbang produksi pada
hari biasa yang sekitar 500 tahu per hari.
![]() | |
Tahu Sumedang | |
Sumberna ti : http://www.jabar.tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar