![]() |
Gunungtilu Pasirjambu-Pangalengan |
Kawasan hutan yang ditetapkan sebagai cagar alam bersama Gunung
Waringin, Gunung Kawah Ciwidey, dan Gunung Riung Gunung berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 68/Kpts/Um/2/1978 ini mempunyai luas
8.000 hektare. Terletak di ketinggian 1.030-2.140 mdpl, kawasan ini termasuk
dalam tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata 2.534 mm/tahun.
Masyarakat lebih mengenal Gunung Tilu sebagai kawasan perkebunan teh.
Salah satu jenis teh yang terkenal dari perkebunan di gunung ini adalah teh
putih. Jenis teh yang biasa diminum para bangsawan Inggris ini, mempunyai
kandungan kaltekin dan eltian yang cukup tinggi sehingga dipercaya dapat
membantu pengendalian emosi peminumnya. Selain itu, zat kaltekin dan eltian
juga dapat membuat seseorang lebih aktif, sigap dan percaya diri.
Teh putih banyak diproduksi di kawasan Gunung Tilu, Kec. Ciwidey. Daun
teh putih hanya dapat diperoleh dari satu pucuk daun teh, paling atas untuk
tiap tangkai. Tak heran jika harga teh putih sangat mahal, kira-kira Rp 1
juta/kg.
Sebenarnya, Gunung Tilu merupakan kawasan hutan cagar alam menyimpan
kekayaan biota. Sayangnya kekayaan ini lebih banyak diketahui para peneliti,
baik dari dalam maupun luar negeri.
Sebagai hutan dengan tipe ekosistem hutan hujan daratan tinggi ini, di
Gunung Tilu tumbuh 197 jenis flora mulai yang berukuran kecil hingga besar
serta flora yang mudah ditemukan hingga yang langka. Jenis pohon yang banyak
tumbuh di kawasan hutan ini adalah, saninten (Castanopsis argentea),
rasamala (Altingia excelsa), kiputri (Podocarpus nerifolius), pasang
(Quercus lineata), puspa (Schima walichii), kondang (Ficus variegata), dan
tunggeureuk (Castanopsis tunggurut). Ada juga jenis flora yang namanya
menggunakan bahasa Sunda, seperti canar bokor, huru batu, hariang, kiputri,
kibanen, katulampa, panggang rante, paku oray, sulangkar, kareumbi, dan
cucak kutilang.
Yang menarik, di gunung ini menyimpan kekayaan yang sangat indah, yaitu
tanaman anggrek yang mencapai 48 jenis. Tanaman anggrek tersebut hidup
menempel pada ratusan pohon-pohon besar yang tumbuh di Cagar Alam Gunung
Tilu. Keragaman tanaman anggrek di Cagar Alam Gunung Tilu tak banyak
diketahui orang.
Beberapa jenis anggrek yang tumbuh lestari antara lain Apendikula
ramosa, Agrostophyllum denbergeri, Coelogine miniata, Liparis polidata,
Cymbidium roseum, dan Payus plapus. Keberagaman anggrek di Cagar Alam Gunung
Tilu sempat diteliti salah seorang pakar anggrek.
Penggemar anggrek akan merasakan ketakjuban luar biasa menyaksikan
berbagai jenis anggrek tumbuh dalam satu hamparan. Seperti sengaja ditanam
orang, padahal tanaman anggrek tersebut tumbuh secara liar. Benar-benar
seperti taman anggrek dalam ukuran raksasa.
Menurut Plh. Kepala Seksi Kantor Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA)
Wilayah III (Kabupaten Bandung, Sumedang, dan Kota Bandung) Siswoyo
mengungkapkan, anggrek yang tumbuh di Cagar Alam Gunung Tilu sangat indah.
Bentuk dan motif bunganya sangat unik, termasuk wangi yang
dikeluarkannya.
"Ada salah satu jenis anggrek harumnya bisa bertahan sampai satu
bulan. Wangi anggrek biasanya hanya bertahan satu minggu, setelah itu
hilang," ujarnya kepada "GM" di Soreang, Rabu (4/1).
Untuk menikmati keindahan tanaman anggrek ini, pengunjung harus rela
berjalan masuk kedalam kawasan hutan. Apabila Anda terlalu lelah,
keingintahuan Anda bisa terobati dengan sebagian tanaman anggrek yang tumbuh
di bagian luar Cagar Alam Gunung Tilu.
Satwa liar
Cagar alam yang letaknya berbatasan dengan perkebunan teh ini juga
menjadi tempat "bersosialisasinya" satwa liar. Siswoyo mengatakan,
kawasan Cagar Alam Gunung Tilu menjadi habitat 68 jenis burung, 7 reptil, 10
ampibi, 16 mamalia, 4 primata, dan 5 jenis capung.
Diantara satwa yang masih dapat ditemui adalah, macan tutul (Panthera
pardus), bajing (Callosciurus notatus), kera (Macaca fascicularis), owa
(Hylobathes moloch), lutung (Trachypitechus auratus), surili (Presbytis
comata), burung elang ruyuk (Spilornis cheela), burung tulung tumpuk
(Megalaima javanensis), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), dan ular
sanca (Phyton reticulatus).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, di antara jenis
satwa yang di Gunung Tilu, hanya monyet ekor panjang, macan tutul, dan
surili yang dilindungi. Di antara ketiga satwa tersebut, yang paling unik
adalah surili, karena primata ini tidak ditemukan di tempat lain sehingga
menjadi maskot Cagar Alam Gunung Tilu.
Surili termasuk jenis primata yang banyak mengonsumsi daun muda atau
kuncup daun sebagai makanannya. Jenis tumbuhan yang menjadi makanan surili
juga sangat beragam. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa surili
mengonsumsi lebih dari 75 jenis tumbuhan yang berbeda.
Surili merupakan satwa yang hanya terdapat (endemik) di Jawa Barat dan
Banten. Surili hanya dapat dijumpai di kawasan lindung dan konservasi dengan
jumlah yang tersisa berkisar antara 4.000-6.000 ekor di seluruh kawasan
hutan Jawa Barat dan Banten. Apabila Anda berkesempatan melihat primati ini,
Anda termasuk yang beruntung.
Meski tak luput dari incaran perambah hutan, namun Cagar Alam Gunung
Tilu yang masih "perawan" ini, merupakan potret dari hutan rimba
yang tersisa di Jawa Barat.
Apabila Anda tertarik untuk mengunjungi kawasan hutan ini, bisa
menggunakan jalur Bandung-Soreang-Pasirjambu-Gambung sekitar 156 km. Anda
pun bisa menggunakan jalur Bandung-Banjaran-Cikalong-Pangalengan-Puncak
Mulya sekitar 178 km. Jalur terakhir yang mencapai 197 km adalah,
Bandung-Soreang-Ciwidey-Perkebunan Rancabolang-Pulau Dewata.
Sumberna ti : http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/stcontent.php?id=56&lang=id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar