Anak-anak zaman dahulu yang hidup di kampung secara tidak langsung
mendapat pendidikan dan pengajaran yang komprehensif dari permainan karena
permainan mereka menyangkut tiga aspek yang menjadi objek pendidikan yakni
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kendati mereka hidup di pedalaman,
kecerdasan, daya nalar, perasaan, solidaritas, dan kreativitas mereka
berkembang dengan bagus.
Kenyataan ini sangat berbeda dengan anak-anak yang hidup di zaman
teknologi. Mereka cenderung bersifat robbophat karena segala bentuk
permainannya sudah dengan tombol (digit). Mereka tumbuh menjadi anak-anak
yang manja karena di sekililingnya serba instan dan serba mudah tanpa harus
menjalani perjuangan seperti ketika anak-anak kampung akan membuat
mobil-mobilan dari pelepah aren atau cangkang jeruk.
Dari sekian banyak permainan, yang menarik untuk dicermati adalah
paciwit-ciwit lutung. Permainan ini baetul-betul merupakan menyangkut
pengendalian rasa, tenggang rasa antara sesama teman. Filosofinya, setiap
orang akan mengalami hidup suka dan duka. Suatu saat ia berada di atas
menjadi pemimpin (stake holder), di saat lain ia pun harus menjadi orang
yang di bawah (rakyat). Suatu saat ia akan menikmati kebahagiaan dan di saat
lain ia akan mengalami kepahitan. Namun, baik kebahagiaan maupun kesedihan,
baik kesenangan maupun penderitaan tidak boleh terlepas dari keterikatan
batin (hubungan sosiologis) dengan sesama manusia. Paciwit-ciwit lutung juga
mengajari anak-anak untuk hidup dalam kebersamaan, keharmonisan dalam duka
dan suka, bersikap sosialis tidak individualis.
Konon, setiap jenis permainan yang ada di kampung, selain merangsang
kecerdasan, memperhalus perasaan, dan meningkatkan keterampilan, juga
memiliki nilai filosofi yang luar biasa. Ia merupakan gambaran kehidupan,
baik yang bersifat horozontal (hablun minanas) maupun yang bersifat vertikal
(hablun minallah).
Paciwit-ciwit lutung adalah permainan penuh makna yang hingga kini
masih tetap aktual bahkan dijadikan jargon dalam setiap aktivitas berbau
bisnis. Kita sering mendengar orang-orang yang berbisnis secara berangkai
akan mengatakan, "Urang paciwit-ciwit lutung lah, urang saeutik sewang,
saciwit sewang."
Istilah paciwit-ciwit lutung juga sangat populer di kalangan kontraktor
pemenang tender, pebisnis, birokrat, eksekutif, yudikatif, bahkan office
boy.
Paciwit-ciwit lutung juga telah mengantarkan kaum birokrat untuk
mengotak-atik anggaran, menyalahgunkan wewenang, dan menggasab uang yang
bukan menjadi haknya. Akibatnya, ketika sebuah kasus korupsi terbongkar
--baik skala besar maupun skala kecil-- banyak pihak yang terkait, banyak
pihak yang terseret. Sehingga mereka berusaha saling melindungi saling
menutupi. Saat diperiksa oleh penyidik, secara mendadak mereka terserang
penyakit isomnia atau serangan jantung. Dalam istilah hukum inilah yang
disebut milangering, akal-akalan dan berpura-pura agar terlepas dari jeratan
hukum, minimal terlepas dari tahanan kurungan.
Karena kasus paciwit-ciwit lutung pulalah, dunia mendadak
gonjang-ganjing ketika Nazarudin sesumbar akan membongkar semua orang yang
terlibat. Namun, karena paciwit-ciwit lutung pula Nazarudin pasang badan,
mengambil sikap "toleran", tutup mulut, asal anak istrinya
selamat.
Paciwit-ciwit lutung telah menjadi intrik. Di dalamnya ada
"kebersamaan", "solidaritas", dan bahkan
"tekanan" (cubitan yang lebih keras dari tangan paling atas) untuk
saling melindungi, menjaga kehormatan dan harga diri, serta memunculkan
kesan bersih.
Paciwit-ciwit lutung telah berubah dari makna positif menjadi sebuah
sindikasi yang menggurita dan agak sulit untuk dipisahkan dari ciwitan-nya.
Tinggal menunggu keberanian penegak hukum. Tentu saja yang tidak pernah
terlibat kasus paciwit-ciwit lutung.
Sumberna ti : www.klik-galamedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar