Curug Malela salah satu tempat wisata di Kabupaten Bandung yang wajib Anda
kunjungi. Curug Malela berada di Kampung Manglid Desa Cicadas, Kec Rongga,
Kab. Bandung Barat, tepatnya di dekat Gunung
Halu, sekitar 50 kilometer atau kurang lebih 3 jam ke arah Barat dari Kota
Bandung. Curug Malela dapat memberikan atmosfir berbeda bagi para pecinta
wisata alam. Wisata alam yang masih asli inilah merupakan
“tawaran” yang cukup memikat bagi wisatawan. Ditambah lagi,
kemiripan Curug Malela dengan Niagara.
Sebelum memasuki Curug
Malela, dibutuhkan waktu yang cukup lama. Anda
harus jalan kaki melewati kawasan perkebunan teh yang terhampar sangat luas
serta harus melewati bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi. Di sepanjang
perjalanan, Anda akan merasakan sejuknya suasana pedesaan dan udaranya yang
masih bersih. Dibandingkan dengan suasana perkotaan, tentu saja ini sangat
berbeda. Jalanan ke arah curug memang kurang memadai. Jika Anda memakai
mobil, dibutuhkan mobil yang biasa untuk off road, karena
jalan raya menuju ke curug, rusak parah. Begitu juga jika Anda memakai
motor, diperlukkan motor trail. Jika memakai kendaraan yang biasa, dikhawatirkan akan
mengalami kerusakan.
Akses jalan menuju ke
Curug Malela masih minim fasilitas. Anda diharapkan berhati-hati dalam
perjalanan menuju curug, karena jalanan berbatu, disamping kanan kiri
terdapat jurang yang terjal, bertanah merah, dan jalanan akan sangat licin
apabila terkena air hujan. Anda harus pintar-pintar memilih jalan, karena
jika tidak kendaraan akan terselip di jalanan yang licin. Bagi pecinta
wisata alam, disitulah letak keseruannya. Dalam perjalanan, Anda diharapkan
selalu memperhatikan petunjuk jalan ke arah curug, agar Anda tidak tersesat
ke tempat lain, papan petunjuk jalan memang masih minim. Di beberapa titik
ada papan petunjuk tetapi sangat kecil dan hanya beberapa kali terlihat
disepanjang perjalanan.
Kendaraan Anda tidak
langsung berhenti dekat dengan Curug Malela. Anda diharuskan menyimpan
kendaraan jauh dari curug karena lokasi curug harus menuruni gunung terlebih
dahulu. Jarak menuju curug kurang lebih 800
meter dan akses jalan juga masih kurang memadai. Beberapa titik jalan sudah
ditembok tapi cukup banyak juga titik jalan yang belum ditembok. Hanya
beberapa meter dari pintu masuk dan beberapa meter jalan yang terjal saja
yang ditembok. Sedangkan jalan yang tidak begitu terjal dibiarkan alami agar
suasana mendaki pegunungan masih dirasakan oleh pengunjung. Disana juga
terdapat 2 tempat persinggahan yang disediakan untuk beristirahat serta
kamar mandi yang cukup memadai untuk pengunjung curug.
Butuh perjuangan yang luar
biasa untuk sampai ke Curug Malela. Sesampainya di curug Anda akan
disuguhkan oleh pemandangan alam yang sangat menawan. Air terjun yang
tingginya mencapai 40 meter dan lebar 30 meter tersebut, dapat langsung
menghilangkan rasa capek. Air terjun dari atas gunung tersebut sangat jernih
dan tidak pernah berhenti mengalir ketika musim kemarau, hanya saja jika
musim hujan warna air akan berubah menjadi coklat.
Jika Anda berencana untuk
berwisata ke Curug Malela disarankan agar memiliki kondisi fisik yang kuat.
Bagi para pecinta alam, ini salah satu keunikan saat melakukan perjalanan.
Tapi, bagi masyarakat biasa, berwisata ke Curug Malela ini membutuhkan
kekuatan yang tidak biasa. Tak salah, jika sepulangnya dari Curug Malela,
banyak wisatawan yang kelelahan.
Sumberna ti : http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/stcontent.php?id=27&lang=id
Inna Samudra Beach
adalah satu dari 16 unit Inna Hotel Group dibawah naungan PT.Hotel Indonesia
Natour,berlokasi di kota Palabuhanratu - Jawa Barat, tepatnya pada kawasan
pantai Laut Selatan yang dipagari oleh pegunungan dengan koordinat
6°57,815'S 106°30,428'E, hutan tropis dengan lintasan sungai-sungai
yang menggambarkan sebuah keindahan alam yang memikat serta sarat akan
budaya dan legenda.
Satu dari legenda yang sangat dikenal berkaitan dengan kota
Palabuhanratu, yaitu Legenda Ratu Laut Selatan atau Nyai Loro Kidul, yang
secara singkat dapat digambarkan dalam ceritera sebagai berikut :
Konon, Jawa Barat pernah diperintah oleh seorang Raja yang sangat
berkuasa, yang bernama Prabu
Ia seorang Raja yang sangat terkenal serta bijaksana. Ia memiliki
seorang Permaisuri yang cantik serta beberapa orang Selir. Pada suatu hari
sang Permaisuri melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Kehadiran
bayi kecil ini membuat mereka sangat berbahagia, tetapi hal ini tidak
disukai oleh para Selir Raja. Bayi itu tumbuh menjadi besar dan wajahnya
lebih cantik dan pada ibunya, ia dinamai Putri Lara Kadita dan dia akan
menjadi ahli waris dari tahta kerajaan ayahnya. Oleh karena itu Raja sangat
mencintai dan mengasihi Putri Lara Kadita.
Sementara itu para Selir yang berusaha untuk menyingkirkan Putri Lara
Kadita, membuat suatu persekongkolan. Mereka menggunakan ilmu hitam untuk
menghancurkan kehidupan Permaisuri beserta putrinya yang cantik itu, dan
akhirnya kuasa jahat dan ilmu hitam itu telah membuat wajah Permaisuri
beserta putrinya menjadi sangat busuk serta tubuh mereka menjadi berbau
busuk. Karena keadaan mereka sangat mengerikan, maka sang Raja memerintahkan
mereka untuk meninggalkan istana, sebab kalau dibiarkan mereka akan membawa
bencana bagi seluruh kerajaan.
Maka pergilah mereka dari istana dan berkelana tak tentu arah didalam
hutan. Mereka menyusuri jalan-jalan sepi agar tidak bertemu dengan orang
lain yang tanpa disadari mereka menuju ke arah selatan. Penderitaan mereka
sangat berat dan tidak tertahankan, sampai akhirnya sang Permaisuri
meninggal dunia dalam perjalanan pengembaraannya. Tinggallah Putri Lara
Kadita seorang diri dalam keadaan putus asa. Ia terus mengembara dan
mengalami banyak penderitaan tanpa seorang pun yang menghiburnya.
Pada suatu hari karena terlalu lelah dan lapar, ia jatuh pingsan,
ketika ia sadar kembali didengarnya suara deburan ombak dari arah selatan.
Suara ini membangkitkan semangatnya untuk kembali melanjutkan perjalanannya,
lalu ia berjalan terus kearah suara itu dan akhirnya ia melihat suatu
pemandangan yang sangat indah, suatu lautan yang luas dengan ombak —
ombak besar yang menerjang batu karang di pantai. Lalu duduklah ia dan
beristirahat di salah satu batu karang tersebut, yang kini dinamakan
Karanghawu dan menjadi objek wisata yang terkenal dan berlokasi sekitar 8 Km
di sebelah barat Inna Samudra Beach.
Pada saat ia duduk di atas batu karang itu, ia tertidur dan bermimpi.
Didalam mimpinya ia diberi tahu bahwa keadaan dan kecantikannya dapat
dipulihkan bila ia membersihkan dirinya dengan melompat ke dalam laut dan
menenggelamkan dirinya. Setelah terjaga dan tidurnya, ia pun berdiri di
pingggir batu karang itu dan melompat ke dalam laut. Ternyata tubuhnya pulih
dan wajahnya pun menjadi cantik kembali. Sejak saat itu, ia menjadi Ratu di
laut itu dan memerintah atas bagian selatan Pulau Jawa dan sejak saat itu
pula ia bergelar " Nyai Loro Kidul" yang artinya "Ratu Laut
Selatan".
Sebagian besar masyarakat di daerah Palabuhanratu sampai saat ini masih
percaya akan kuasa yang memerintah di Laut Selatan, Maka untuk memperingati
hal itu, tanggal 6 April ditetapkan sebagai Hari Nelayan bagi masyarakat
kota Palabuhanratu¬Sukabumi, dimana dalam perayaannya selalu
dilaksanakan kegiatan Pesta Laut (Labuh Saji) yang tujuan intinya tiada lain
adalah untuk memohon agar Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan
perlindungan dan kemakmuran.
Berkaitan dengan Legenda serta kepercayaan dan sebagian masyarakat,
maka di Samudra Beach Hotel telah terkondisikan sebuah ruangan khusus
sebagai gambaran dari Legenda Nyai Loro Kidul, yaitu kamar #308 yang
didalamnya dapat ditemui berbagai perlengkapan serta lukisan yang berkaitan
dengan Legenda Nyai Loro Kidul dan berasal dari para pengunjung Domestik
maupun Manca Negara.
Akan merupakan sebuah pengalaman yang menarik bagi para pengunjung Inna
Samudra Beach apabila telah mengetahui keberadaan kamar #308, karena dengan
lebih mengetahui gambaran tentang legenda tersebut maka dapat turut
melestarikan budaya dan legenda masyarakat Indonesia khususnya Jawa
Barat.
Adapun adanya pendapat serta pengalaman tentang hal-hal lain yang
berkaitan dengan kamar #308, selanjutnya dikembalikan kepada keyakinan dan
kepercayaan yang ada pada diri pribadi masing-masing.
DAHULU, anak-anak
di perkampungan memiliki banyak sekali kaulinan (permainan), mulai dari yang
merangsang daya pikir (kognitif), mengasah rasa (koaktif), hingga yang
menuntut ketrampilan dan kecakapan (psikomotorik). Dam-daman, congklak,
lelempengan, dan sumput beling adalah contoh permainan yang merangsang kerja
otak. Slep dur, pecle/sondah, dan paciwit-ciwit lutung mengajak anak untuk
belajar menggunakan rasa dan melatih naluri. Jajangkungan/egrang, bebedilan,
sorodot gaplok, ucing-ucingan menggiring anak untuk melatih
ketrampilan.
Anak-anak zaman dahulu yang hidup di kampung secara tidak langsung
mendapat pendidikan dan pengajaran yang komprehensif dari permainan karena
permainan mereka menyangkut tiga aspek yang menjadi objek pendidikan yakni
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kendati mereka hidup di pedalaman,
kecerdasan, daya nalar, perasaan, solidaritas, dan kreativitas mereka
berkembang dengan bagus.
Kenyataan ini sangat berbeda dengan anak-anak yang hidup di zaman
teknologi. Mereka cenderung bersifat robbophat karena segala bentuk
permainannya sudah dengan tombol (digit). Mereka tumbuh menjadi anak-anak
yang manja karena di sekililingnya serba instan dan serba mudah tanpa harus
menjalani perjuangan seperti ketika anak-anak kampung akan membuat
mobil-mobilan dari pelepah aren atau cangkang jeruk.
Dari sekian banyak permainan, yang menarik untuk dicermati adalah
paciwit-ciwit lutung. Permainan ini baetul-betul merupakan menyangkut
pengendalian rasa, tenggang rasa antara sesama teman. Filosofinya, setiap
orang akan mengalami hidup suka dan duka. Suatu saat ia berada di atas
menjadi pemimpin (stake holder), di saat lain ia pun harus menjadi orang
yang di bawah (rakyat). Suatu saat ia akan menikmati kebahagiaan dan di saat
lain ia akan mengalami kepahitan. Namun, baik kebahagiaan maupun kesedihan,
baik kesenangan maupun penderitaan tidak boleh terlepas dari keterikatan
batin (hubungan sosiologis) dengan sesama manusia. Paciwit-ciwit lutung juga
mengajari anak-anak untuk hidup dalam kebersamaan, keharmonisan dalam duka
dan suka, bersikap sosialis tidak individualis.
Konon, setiap jenis permainan yang ada di kampung, selain merangsang
kecerdasan, memperhalus perasaan, dan meningkatkan keterampilan, juga
memiliki nilai filosofi yang luar biasa. Ia merupakan gambaran kehidupan,
baik yang bersifat horozontal (hablun minanas) maupun yang bersifat vertikal
(hablun minallah).
Paciwit-ciwit lutung adalah permainan penuh makna yang hingga kini
masih tetap aktual bahkan dijadikan jargon dalam setiap aktivitas berbau
bisnis. Kita sering mendengar orang-orang yang berbisnis secara berangkai
akan mengatakan, "Urang paciwit-ciwit lutung lah, urang saeutik sewang,
saciwit sewang."
Istilah paciwit-ciwit lutung juga sangat populer di kalangan kontraktor
pemenang tender, pebisnis, birokrat, eksekutif, yudikatif, bahkan office
boy.
Paciwit-ciwit lutung juga telah mengantarkan kaum birokrat untuk
mengotak-atik anggaran, menyalahgunkan wewenang, dan menggasab uang yang
bukan menjadi haknya. Akibatnya, ketika sebuah kasus korupsi terbongkar
--baik skala besar maupun skala kecil-- banyak pihak yang terkait, banyak
pihak yang terseret. Sehingga mereka berusaha saling melindungi saling
menutupi. Saat diperiksa oleh penyidik, secara mendadak mereka terserang
penyakit isomnia atau serangan jantung. Dalam istilah hukum inilah yang
disebut milangering, akal-akalan dan berpura-pura agar terlepas dari jeratan
hukum, minimal terlepas dari tahanan kurungan.
Karena kasus paciwit-ciwit lutung pulalah, dunia mendadak
gonjang-ganjing ketika Nazarudin sesumbar akan membongkar semua orang yang
terlibat. Namun, karena paciwit-ciwit lutung pula Nazarudin pasang badan,
mengambil sikap "toleran", tutup mulut, asal anak istrinya
selamat.
Paciwit-ciwit lutung telah menjadi intrik. Di dalamnya ada
"kebersamaan", "solidaritas", dan bahkan
"tekanan" (cubitan yang lebih keras dari tangan paling atas) untuk
saling melindungi, menjaga kehormatan dan harga diri, serta memunculkan
kesan bersih.
Paciwit-ciwit lutung telah berubah dari makna positif menjadi sebuah
sindikasi yang menggurita dan agak sulit untuk dipisahkan dari ciwitan-nya.
Tinggal menunggu keberanian penegak hukum. Tentu saja yang tidak pernah
terlibat kasus paciwit-ciwit lutung.
Geger Sunten merupakan
kampung kecil yang berada di wilayah Desa Sodong Kec. Tambaksari, Ciamis.
Lokasinya cukup terpencil, terletak di sebelah timur Kampung Kuta. Namun
demikian, tempat ini memiliki peranan besar dalam sejarah Galuh klasik pada
abad ke-7. Nama Geger Sunten muncul dalam kisah Ciung Wanara yang terkenal.
Seperti yang tercatat dalam buku “Yuganing Rajakawasa” (disusun
oleh Drs. Yoseph Iskandar) Geger Sunten merupakan tempat bermukimnya Aki
Balangantrang. Tokoh yang aslinya bernama Sang Bimaraksa ini merupakan putra
bungsu Sang Jantaka dari Denuh yang lahir tahun 653 masehi. Sang Bimaraksa
muncul dalam beberapa babak konflik perebutan kekuasaan di Kerajaan
Galuh.
Sang Bimaraksa adalah cucu Wretikandayun sang pendiri kerajaan Galuh,
yang membantu Purbasora (putra Sempakwaja) untuk menggulingkan Sang Senna
(putra Mandiminyak) yang saat itu menjadi Raja di Galuh. Sempakwaja, Jantaka
dan Mandiminyak adalah putra dari Wretikandayun. Purbasora berhasil
menggulingkan Sena dan mulai memerintah Galuh pada tahun 716 masehi. Dan
BImaraksa Menjadi patih kerajaan Galuh. Sedangkan Sena sendiri berhasil
melarikan diri dan kemudian diangkat menjadi Raja di Mataram (kalingga
Utara).
Sena (putra Mandiminyak dengan Pwah Rababu) melaksanakan perkawinan
manu (menikah dengan saudari sendiri) dengan Sanaha (putri Mandiminyak
dengan Dewi Parwati) maka lahirlah Sanjaya tahun 683. Sanjaya berniat
membalas dendam terhadap Purbasora yeng telah mengusir ayahnya, Dengan
bantuanResiguru Rabuyut Sawal (penguasa di wilayah Gunung Sawal Ciamis) yang
mewariskan kitab setrategi perang bernama “Pustaka Ratuning Bala
Sarewu”, Sanjaya berhasil membentuk pasukan pilih tanding gabungan
dari pasukan Bumi Mataram, Bumi Sembara, dan Sunda. Akhirnya Purbasora yang
berusia 80 tahun gugur dibunuh Sanjaya pada pertempuran di Galuh. Namun
Senapati Bimaraksa berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di Geger
Sunten.
Upaya kudeta muncul lagi saat Tamperan Barmawijaya (putra Sanjaya)
menjadi penguasa di Galuh. Tindakannya membunuh Permana Dikusumah secara
licik karena ingin memperistri Dewi Pangrenyep diketahui oleh Bimaraksa yang
namanya menjadi Aki Balangantrang. Aki Balangantrang adalah ayah dari Dewi
Naganingrum yang diperistri oleh Permana Dikusumah. Dari Dewi Naganingrum,
Permana Dikusumah alias Ajar Sukaresi memiliki putra bernama Sang Manarah
atau lebih terkenal dengan nama Ciung Wanara.
Geger Sunten pun ahirnya dijadikan tempat untuk menghimpun dan menyusun
kekuatan tempur yang dirahasiakan. Selama 6 tahun Bimaraksa berhasil
menyusun pasukan dari partisan-partisan kerajaan yang pernah dikalahkan oleh
Sanjaya. Diantaranya dari Saunggalah, sisa-sisa laskar Galuh, dan pasukan
Indraprahasta.
Tepat pada acara Tradisi Tahunan Sabung Ayam, pasukan Geger Sunten yang
dipimpin oleh Bimaraksa dan Ciung Wanara berhasil menggulingkan Tamperan
Barmawijaya dan membunuhnya. Sang Manarah pun naik tahta dan Bimaraksa
kembali Senapati Galuh. Kematian Tamperan Barmawijaya dan Dewi Pangerenyep
membuat murka Sanjaya. Gotrayudha pun pecah kembali, perang berkecamuk tanpa
ada yang kalah dan menang. Akhirnya Sang Resiguru Demunawan dai Saunggalah
berhasil melerai pertempuran itu, dan dicapailah kesepakatan
perdamaian.
KEKAYAAN biota
Cagar Alam Gunung Tilu masih belum banyak diketahui oleh masyarakat luas.
Padahal kawasan hutan yang terhampar di Kec. Ciwidey, Pasirjambu, dan Kec.
Pangalengan Kab. Bandung ini menyimpan banyak flora langka dan satwa liar
yang dilindungi.
Kawasan hutan yang ditetapkan sebagai cagar alam bersama Gunung
Waringin, Gunung Kawah Ciwidey, dan Gunung Riung Gunung berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 68/Kpts/Um/2/1978 ini mempunyai luas
8.000 hektare. Terletak di ketinggian 1.030-2.140 mdpl, kawasan ini termasuk
dalam tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata 2.534 mm/tahun.
Masyarakat lebih mengenal Gunung Tilu sebagai kawasan perkebunan teh.
Salah satu jenis teh yang terkenal dari perkebunan di gunung ini adalah teh
putih. Jenis teh yang biasa diminum para bangsawan Inggris ini, mempunyai
kandungan kaltekin dan eltian yang cukup tinggi sehingga dipercaya dapat
membantu pengendalian emosi peminumnya. Selain itu, zat kaltekin dan eltian
juga dapat membuat seseorang lebih aktif, sigap dan percaya diri.
Teh putih banyak diproduksi di kawasan Gunung Tilu, Kec. Ciwidey. Daun
teh putih hanya dapat diperoleh dari satu pucuk daun teh, paling atas untuk
tiap tangkai. Tak heran jika harga teh putih sangat mahal, kira-kira Rp 1
juta/kg.
Sebenarnya, Gunung Tilu merupakan kawasan hutan cagar alam menyimpan
kekayaan biota. Sayangnya kekayaan ini lebih banyak diketahui para peneliti,
baik dari dalam maupun luar negeri.
Sebagai hutan dengan tipe ekosistem hutan hujan daratan tinggi ini, di
Gunung Tilu tumbuh 197 jenis flora mulai yang berukuran kecil hingga besar
serta flora yang mudah ditemukan hingga yang langka. Jenis pohon yang banyak
tumbuh di kawasan hutan ini adalah, saninten (Castanopsis argentea),
rasamala (Altingia excelsa), kiputri (Podocarpus nerifolius), pasang
(Quercus lineata), puspa (Schima walichii), kondang (Ficus variegata), dan
tunggeureuk (Castanopsis tunggurut). Ada juga jenis flora yang namanya
menggunakan bahasa Sunda, seperti canar bokor, huru batu, hariang, kiputri,
kibanen, katulampa, panggang rante, paku oray, sulangkar, kareumbi, dan
cucak kutilang.
Yang menarik, di gunung ini menyimpan kekayaan yang sangat indah, yaitu
tanaman anggrek yang mencapai 48 jenis. Tanaman anggrek tersebut hidup
menempel pada ratusan pohon-pohon besar yang tumbuh di Cagar Alam Gunung
Tilu. Keragaman tanaman anggrek di Cagar Alam Gunung Tilu tak banyak
diketahui orang.
Beberapa jenis anggrek yang tumbuh lestari antara lain Apendikula
ramosa, Agrostophyllum denbergeri, Coelogine miniata, Liparis polidata,
Cymbidium roseum, dan Payus plapus. Keberagaman anggrek di Cagar Alam Gunung
Tilu sempat diteliti salah seorang pakar anggrek.
Penggemar anggrek akan merasakan ketakjuban luar biasa menyaksikan
berbagai jenis anggrek tumbuh dalam satu hamparan. Seperti sengaja ditanam
orang, padahal tanaman anggrek tersebut tumbuh secara liar. Benar-benar
seperti taman anggrek dalam ukuran raksasa.
Menurut Plh. Kepala Seksi Kantor Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA)
Wilayah III (Kabupaten Bandung, Sumedang, dan Kota Bandung) Siswoyo
mengungkapkan, anggrek yang tumbuh di Cagar Alam Gunung Tilu sangat indah.
Bentuk dan motif bunganya sangat unik, termasuk wangi yang
dikeluarkannya.
"Ada salah satu jenis anggrek harumnya bisa bertahan sampai satu
bulan. Wangi anggrek biasanya hanya bertahan satu minggu, setelah itu
hilang," ujarnya kepada "GM" di Soreang, Rabu (4/1).
Untuk menikmati keindahan tanaman anggrek ini, pengunjung harus rela
berjalan masuk kedalam kawasan hutan. Apabila Anda terlalu lelah,
keingintahuan Anda bisa terobati dengan sebagian tanaman anggrek yang tumbuh
di bagian luar Cagar Alam Gunung Tilu.
Satwa liar
Cagar alam yang letaknya berbatasan dengan perkebunan teh ini juga
menjadi tempat "bersosialisasinya" satwa liar. Siswoyo mengatakan,
kawasan Cagar Alam Gunung Tilu menjadi habitat 68 jenis burung, 7 reptil, 10
ampibi, 16 mamalia, 4 primata, dan 5 jenis capung.
Diantara satwa yang masih dapat ditemui adalah, macan tutul (Panthera
pardus), bajing (Callosciurus notatus), kera (Macaca fascicularis), owa
(Hylobathes moloch), lutung (Trachypitechus auratus), surili (Presbytis
comata), burung elang ruyuk (Spilornis cheela), burung tulung tumpuk
(Megalaima javanensis), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), dan ular
sanca (Phyton reticulatus).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, di antara jenis
satwa yang di Gunung Tilu, hanya monyet ekor panjang, macan tutul, dan
surili yang dilindungi. Di antara ketiga satwa tersebut, yang paling unik
adalah surili, karena primata ini tidak ditemukan di tempat lain sehingga
menjadi maskot Cagar Alam Gunung Tilu.
Surili termasuk jenis primata yang banyak mengonsumsi daun muda atau
kuncup daun sebagai makanannya. Jenis tumbuhan yang menjadi makanan surili
juga sangat beragam. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa surili
mengonsumsi lebih dari 75 jenis tumbuhan yang berbeda.
Surili merupakan satwa yang hanya terdapat (endemik) di Jawa Barat dan
Banten. Surili hanya dapat dijumpai di kawasan lindung dan konservasi dengan
jumlah yang tersisa berkisar antara 4.000-6.000 ekor di seluruh kawasan
hutan Jawa Barat dan Banten. Apabila Anda berkesempatan melihat primati ini,
Anda termasuk yang beruntung.
Meski tak luput dari incaran perambah hutan, namun Cagar Alam Gunung
Tilu yang masih "perawan" ini, merupakan potret dari hutan rimba
yang tersisa di Jawa Barat.
Apabila Anda tertarik untuk mengunjungi kawasan hutan ini, bisa
menggunakan jalur Bandung-Soreang-Pasirjambu-Gambung sekitar 156 km. Anda
pun bisa menggunakan jalur Bandung-Banjaran-Cikalong-Pangalengan-Puncak
Mulya sekitar 178 km. Jalur terakhir yang mencapai 197 km adalah,
Bandung-Soreang-Ciwidey-Perkebunan Rancabolang-Pulau Dewata.
Kondisi jalan bervariasi, sehingga Anda harus mempersiapkan kendaraan
yang akan digunakan. Namun, rasa lelah akan terobati dengan pemandangan
indah di sepanjang perjalanan.
Sumberna ti : http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/stcontent.php?id=56&lang=id
NGEUNAH ieu kadaharan teh. Mun dijual pasti payu (Makanan ini enak.
Kalau dijual pasti laku).” Itulah ucapan Bupati Sumedang Pangeran Aria
Soeriatmadja saat pertama kali mencicipi tahu goreng buatan Ong Kino tahun
1917.
Puluhan tahun kemudian tahu sumedang menjadi jenis makanan tradisional
yang terkenal sekaligus menjadi penyambung hidup masyarakat Sumedang, Jawa
Barat.
Bupati Sumedang (1883-1919) itu adalah pemimpin paling dicintai rakyat
yang ilmu agamanya terkenal kuat. Keteladanan itu juga membuat masyarakat
yakin, setiap perkataan sang bupati pasti terkabul. ”Saciduh metu,
saucap nyata” (sekali meludah berhasil, sekali mengucap jadi
kenyataan), kalimat kiasannya dalam bahasa Sunda.
Salah satu tuahnya turun pada usaha pembuatan tahu di Kabupaten
Sumedang. Ia juga dijuluki ”Pangeran Mekkah” karena wafat saat
menunaikan ibadah haji di Mekkah pada usia 70 tahun. Ia juga merupakan
bupati pendiri sekolah pertanian pertama di Indonesia tahun 1941 dan Bank
Prijaji pada 1901.
Suatu hari, dalam perjalanan menuju tempat peristirahatannya di
Situraja, Sumedang, Soeriatmadja mencicipi tahu buatan Ong Kino yang dijual
di depan rumahnya di pinggir Jalan Tegal Kalong, Sumedang (kini menjadi
Jalan 11 April), sekitar tahun 1917. ”Petuah” itu pun meluncur
dari mulutnya.
Hingga 95 tahun kemudian, doa bupati ke-20 Sumedang itu terbukti
langgeng. Diiringi etos kerja tekun dan telaten ala masyarakat Tionghoa,
usaha tahu pun berkembang. Tenaga pribumi diajak ikut serta sehingga ilmu
tahu tersebar luas. Kini, keahlian membuat tahu menjadi bekal hidup banyak
warga Sumedang.
Dengan kerenyahan, tekstur khas, dan melibatkan ribuan orang Sumedang,
tahu menjadi produk khas. Asal berukuran 3 cm x 3 cm atau 2,5 cm x 3 cm,
berwarna coklat muda, kulit berintik, renyah, dan gurih, di seluruh
Indonesia biasanya dinamai tahu sumedang. Padahal, tidak semua penjual atau
cara pembuatannya dilakukan orang Sumedang.
”Cur cor”
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran Nina Herlina Lubis
mengatakan, pasca-penghapusan larangan tinggal, sekitar tahun 1856, banyak
orang Tionghoa mulai masuk Priangan Timur, termasuk Sumedang. Berdasarkan
sensus tahun 1930, jumlah orang Tionghoa di Sumedang 905 jiwa. Bandingkan
dengan orang Eropa yang berjumlah 258 jiwa.
Celah bisnis dikembangkan perantau Tionghoa, Ong Kino, yang tiba di
Sumedang awal abad ke-20. Awalnya, istri Ong Kino membuat tahu guna
menuntaskan kegemaran makan suaminya. Perlahan, enaknya tahu mulai dikenal
masyarakat Sumedang dan dijual di depan rumahnya. Warga Tionghoa lainnya
juga ikut menjual tahu menggunakan merek Palasari dan Ojolali.
Berada di kaki Gunung Tampomas, Sumedang tidak pernah kekurangan air
tanah. Air terus mengalir. Cur cor, kalau kata orang Sunda. Kualitas air
Sumedang sangat cocok untuk membuat tahu. Sama seperti kebanyakan daerah
penghasil tahu di China Selatan, air di Sumedang berkalsium, membuat tahu
kenyal tanpa pengawet.
Selain anugerah alam, pengelolaan bahan dan cara masak khas Tionghoa
juga menjadi kunci selanjutnya. Pemilik Toko Bungkeng, Suryadi, mencontohkan
cara membuat tahu jadi padat berisi. Ia mengatakan, awal menggoreng adalah
proses penting. Minyak harus benar-benar panas sebelum tahu
dimasukkan.
Cara khusus lain juga dilakukan untuk menghasilkan tahu berkulit
berintik. Ia mengatakan, tahu harus dimasukkan dalam keadaan basah. Dulu,
untuk menambah kenikmatan, tahu digoreng menggunakan minyak kacang tanah.
Akan tetapi, sekarang minyak kacang tanah berkualitas sulit
didapatkan.
”Nyaris tidak ada rahasia. Selebihnya hanya kedelai yang
digiling. Hasil gilingan dikukus menjadi tahu dan dimasukkan ke air garam.
Setelah itu tinggal digoreng,” katanya.
Kebersihan alat dan kontrol gilingan kedelai juga tak kalah penting.
Pemilik perusahaan tahu Mirasa Sindang Sari, Hernawan Safari, mengatakan,
kebersihan alat penting karena sisa kedelai bisa membuat seluruh adonan baru
menjadi asam. ”Mencicipi contoh adonan setiap hari juga harus
dilakukan untuk menjaga kualitas dan rasa,” katanya.
Setia
Hujan belum juga berhenti mengguyur Sumedang, akhir pekan pada
pengujung tahun 2011, saat sekitar 200 tahu di Toko Bungkeng habis terjual
dalam waktu seperempat jam. Pembelinya mayoritas warga Sumedang yang
sepertinya ingin melewatkan sisa hari yang dingin itu sembari makan tahu
ditemani segelas teh manis panas.
Darso (56), warga Cipasang, Cibugel, Sumedang, mengatakan hanya membeli
tahu buatan asli Sumedang sejak 20 tahun lalu. Kekenyalan dan kerenyahan
tahu menjadi pemikatnya. Tahu juga tidak mudah asam dalam satu-dua hari.
”Tahu yang baru selesai digiling dan langsung digoreng adalah yang
paling nikmat. Saat hujan, kenikmatannya lebih terasa,”
katanya.
Dedi (57), pelayan di Toko Bungkeng, mengatakan, saat musim libur
panjang, 10.000 tahu seharga Rp 400 per tahu terjual per hari. Pembelinya
mengular di depan toko dari pagi hingga sore. Wisatawan luar negeri dari
Singapura dan Malaysia pun ada di antara mereka.
”Kami harus membuat nomor antrean. Bisa sampai seribu nomor per
hari,” kata Dedi. Di pinggiran jalan Bandung-Sumedang, Unjang (38)
merasakan hal serupa. Saat musim libur, pedagang ini bisa menjual hingga
2.000 tahu per hari. Jumlah itu jauh lebih besar ketimbang produksi pada
hari biasa yang sekitar 500 tahu per hari.
Dikalangan anak-anak perempuan permainan sapintrong merupakan
permainan yang sangat digemari. Selain dibutuhkan stratedi maupun
kekuatan fisik, para pemain pun dituntut untuk berlaku jujur dan
sportif. Permainan diwali dengan menentukan dua orang yang harus menjaga
kedua ujung tali atau karet. Setelah ditentukan petugas yang memegang
karet dan urutan pemain, permaianan pun dilakukan dengan diawali
lompatan biasa. Setelah semua pemain mendapat giliran, sistim atau
aturan melompat, mulai dari awal memasuki putaran karet hingga cara
melompat harus sesuai yang disepakati bersama.
sapintong
Selain dilakukan seorang diri, lompatan juga dilakukan oleh 2
sampai 3 orang. Biasanya, kesepakatan yang dilakukan antar pemain adalah
jumlah lompatan dalam putaran karet yang harus dilakukan setiap pemain.
Selain itu kesepakatan yang dilakukan adalah kecepatan karet yang
diputar oleh dua orang pemain. Tidak ada istilah kalah dan menang dalam
permainan ini bila dilakukan secara perorangan. Mereka yang tidak mampu
melakukan kesepakatan aturan, dialah yang mendapat tugas memegang ujung
karet dan mendapat perintah sesuai kesepakatan para pemain. Permainan
ini biasanya dilakukan oleh tidak lebih dari 10 orang.
sumberna ti : http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=1011&lang=id
Wayang adalah bentuk teater rakyat yang sangat popular. Orang sering
menghubungkan kata “wayang” dengan ”bayang”, karena dilihat dari
pertunjukan wayang kulit yang memakai layar, dimana muncul bayangan-bayangan. Di Jawa Barat,
selain wayang kulit, yang paling populer adalah wayang golek. Berkenaan
dengan wayang golek, ada dua macam diantaranya wayang golek papak
(cepak) dan wayang golek purwa yang ada di daerah Sunda. Kecuali wayang
wong, dari semua wayang itu dimainkan oleh seorang dalang sebagai
pemimpin pertunjukan yang sekaligus menyanyikan suluk, menyuarakan
antawacana, mengatur gamelan mengatur lagu dan lain-lain. А
Sebagaimana alur cerita pewayangan umumnya, dalam pertunjukan wayang
golek juga biasanya memiliki lakon-lakon baik galur maupun carangan yang
bersumber dari cerita Ramayana dan Mahabarata dengan menggunakan bahasa Sunda dengan iringan gamelan Sunda (salendro), yang terdiri atas dua buah saron, sebuah peking, sebuah selentem, satu perangkat boning, satu perangkat boning rincik, satu perangkat kenong, sepasang gong (kempul dan goong), ditambah dengan seperangkat kendang (sebuah kendang Indung dan tiga buah kulanter), gambang dan rebab.
Sejak 1920-an,
selama pertunjukan wayang golek diiringi oleh sinden. Popularitas
sinden pada masa-masa itu sangat tinggi sehingga mengalahkan popularitas
dalang wayang golek itu sendiri, terutama ketika zamannya Upit Sarimanah dan Titim Patimah sekitar tahun 1960-an.
Dalam pertunjukan wayang golek, lakon yang biasa dipertunjukan adalah
lakon carangan. Hanya kadang-kadang saja dipertunjukan lakon galur. Hal
ini seakan menjadi ukuran kepandaian para dalang menciptakan lakon
carangan yang bagus dan menarik. Beberapa dalang wayang golek yang
terkenal diantaranya Tarkim, R.U. Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah
Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Cecep Supriadi dll.
Pola pengadegan wayang golek adalah sebagai berikut; 1) Tatalu,
dalang dan sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra,
suluk/kakawen, dan biantara; 2) Babak unjal, paseban, dan bebegalan; 3)
Nagara sejen; 4) Patepah; 5) Perang gagal; 6) Panakawan/goro-goro; 7)
Perang kembang; 8) Perang raket; dan 9) Tutug.
Salah satu fungsi wayang dalam masyarakat adalah ngaruat, yaitu
membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Beberapa orang yang diruwat
(sukerta), antara lain: 1) Wunggal (anak tunggal); 2) Nanggung Bugang
(seorang adik yang kakaknya meninggal dunia); 3) Suramba (empat orang
putra); 4) Surambi (empat orang putri); 5) Pandawa (lima putra); 6)
Pandawi (lima putri); 7) Talaga Tanggal Kausak (seorang putra dihapit
putri); 8) Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua orang
putra), dan sebagainya.
Wayang golek saat ini lebih dominan sebagai seni pertunjukan rakyat,
yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat
lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material. Hal demikian
dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di masyarakat misalnya ketika
ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam rangka khitanan,
pernikahan dan lain-lain adakalanya diriingi dengan pertunjukan wayang
golek.
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_golek
Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di Jawa Barat, antara lain Gamelan Salendro, Pelog dan Degung. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain. Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan
salendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurang akrab di masyaraka
dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di masyarakat. Hal ini
menandakan cukup terwakilinya seperangkat gamelan dengan keberadaan gamelan salendro, sementara gamelan degung dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat. Gamelan lainnya adalah gamelan Ajeng berlaras salendro yang masih terdapat di kabupaten Bogor, dan gamelan Renteng yang ada di beberapa tempat, salah satunya di Batu Karut, Cikalong kabupaten Bandung. Melihat bentuk dan interval gamelan renteng, ada pendapat bahwa kemungkinan besar gamelan degung yang sekarang berkembang, berorientasi pada gamelan Renteng.
Ada gamelan yang sudah lama terlupakan yaitu KOROMONG yang ada di Kp. Lamajang Desa Lamajang Kec. Pangalengan Kab. Bandung. Gamelan ini sudah tidak dimainkan sejak kira-kira 35 – 40 tahun dan sudah tidak ada yang sanggup untuk menabuhnya karena gamelan KOROMONG ini dianggap mempunyai nilai mistis. Gamelan KOROMONG ini sekarang masih ada dan terpelihara dengan baik. Untuk supaya gamelan KOROMONG ini dapat ditabuh, maka kata yang memegang dan merawat gamelan tersebut harus dibuat Duplikatnya.
Menyimak Sejarah Degung
Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreasi urang Sunda. Gamelan
yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal
perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Jaap Kunst
yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung
(5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1
perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja
(1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu
sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap
kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan
musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa,
yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan
“agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung
pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan)
martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan,
menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki
oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah “degung” pertama
kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata “De
gong” (gamelan, bahasa Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.
Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (1791—1828).
Perkembangan Seni Sunda Degung
Dulu gamelan degung
hanya ditabuh secara gendingan (instrumental). Bupati Cianjur RT.
Wiranatakusumah V (1912—1920) melarang degung memakai nyanyian (vokal)
karena membuat suasana kurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun
1920 pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.
Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang,
Anang Thayib, merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan
yang diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut. Oleh
karena itu dia mengajukan permohonan
kepada bupati agar diijinkan menggunakan degung dalam hajatannya, dan
diijinkannya. Mulai saat itulah degung digunakan dalam hajatan
(perhelatan) umum. Permohonan semacam itu semakin banyak, maka bupati memerintahkan supaya membuat gamelan degung lagi, dan terwujud degung baru yang dinamakan Purbasasaka, dipimpin oleh Oyo.
Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan
degung hanya terdiri atas koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron
panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah.
Kemudian penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan
dan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak
Idi. Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut.
Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending
karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan. Tahun 1926
degung dipakai untuk illustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung.
Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending
karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd.
Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.
Setelah Idi meninggal (tahun 1945) degung tersendat perkembangannya.
Apalagi setelah itu revolusi fisik banyak mengakibatkan penderitaan
masyarakat. Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun 1954 oleh
Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu
yang telah ada, mereka menciptakan pula lagu-lagu baru dengan nuansa
lagu-lagu degung sebelumnya. Tahun 1956 degung mulai disiarkan secara
tetap di RRI Bandung dengan mendapatkan sambutan yang baik dari
masyarakat. Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih dengan
musik degung dengan iringan degung lagu palwa. Bunyi degung lagu Palwa
setiap kali terdengar tatkala pembukaan acara warta berita bahasa Sunda, sehingga dapat meresap dan membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat.
Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup
Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. Selanjutnya E.
Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung dengan
lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog. Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh yang memelopori degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti dikemukakan Enoch Atmadibrata, degung wanita dipelopori oleh para anggota Damas (Daya Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata (menantu Oyo).
Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam
degung. Tetapi hal ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya
Mandalakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) melengkapi degung dengan
waditra gambang, saron, dan rebab. Kelengkapan ini untuk mendukung
gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu Wibisana. Gamelan
degung ini dinamakan degung Si Pawit. Degung ini juga digunakan untuk
pirigan wayang Pakuan. Dari rekaman-rekaman produksi Lokananta
(Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi
dapat didengarkan degung yang menggunakan waditra tambahan ini.
Lagu-lagu serta garap tabuhnya banyak mengambil dari gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas, dsb. Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung yang nadanya berorientasi pada gamelan
salendro (dwi swara). Bentuk ancak bonanya seperti tapal kuda.
Dibanding degung yang ada pada waktu itu, surupannya lebih tinggi.
Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R. Machyar. Gamelan laras
degung ini pernah dipakai untuk mengiringi gending karesmen Aki Nini
Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana.
Tahun 1970—1980-an semakin banyak yang menggarap degung, misalnya
Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi Pramanik
pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan Kustyara, dan degung gaya
Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer sejak tahun
1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas. Tak kalah penting
adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan unsur waditra
kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan
membuat intro dan aransemen tersendiri. Beberapa lagu degung karya Nano
S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya Panglayungan
(1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981),
Anjeun (1984) dan Kalangkang yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan
Barman Syahyana (1986). Lagu Kalangkang ini lebih populer lagi setelah
direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos
sekitar tahun 1987.
Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an) dimana para penyanyi degung
berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden;
ronggeng), para penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an) kebanyakan
berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria maupun
wanita. Juru kawih degung yang populer dan berasal dari kalangan mamaos
di antaranya Euis Komariah, Ida Widawati, Teti Afienti, Mamah Dasimah,
Barman Syahyana, Didin S. Badjuri, Yus Wiradiredja, Tati Saleh dan
sebagainya.
Lagu-lagu degung di antaranya: Palwa, Palsiun, Bima Mobos (Sancang),
Sang Bango, Kinteul Bueuk, Pajajaran, Catrik, Lalayaran, Jipang Lontang,
Sangkuratu, Karang Ulun, Karangmantri, Ladrak, Ujung Laut, Manintin,
Beber Layar, Kadewan, Padayungan, dsb. Sedangkan lagu-lagu degung
ciptaan baru yang digarap dengan menggunakan pola lagu rerenggongan di
antaranya: Samar-samar, Kembang Ligar, Surat Ondangan, Hariring Bandung,
Tepang Asih, Kalangkang, Rumaos, Bentang Kuring, dsb.
Perkembangan Degung di Mancanegara
Di luar Indonesia pengembangan degung dilakukan oleh perguruan tinggi
seni dan beberapa musisi, misalnya Lingkung Seni Pusaka Sunda
University of California (Santa Cruz, USA), musisi Lou Harrison (US),
dan Rachel Swindell bersama mahasiswa lainnya di London (Inggris),
Paraguna (Jepang), serta Evergreen, John Sidal (Kanada). Di Melbourne,
Australia, ada sebuah set gamelan degung milik University of Melbourne
yang seringkali digunakan oleh sebuah komunitas pencinta musik Sunda
untuk latihan dan pementasan di festival-festival.
sumberna ti : http://www.proghita.com/seni-sunda-degung-sejarah-dan-perkembangannya/
Huruf Kaganga (ke ge nge) berbeda pelafalan pada daerah-daerah tertentu.
Kanganga dengan daerah Komering akhiran semua huruf dibaca a (ka ga nga),
pada daerah Kayu Agung dibaca é (ké gé ngé),
pada daerah Besemah dan Ogan dibaca e (ke ge nge),
pada daerah Lintang dan Serawai (Lampung) dibaca o (ko go ngo).
Kaganga Rencong
Kaganga Rejang
Berikut dibawah ini adalah contoh tulisan kaganga: