Minggu, 15 Januari 2012

Cururg Malela

Curug Malela salah satu tempat wisata di Kabupaten Bandung yang wajib Anda kunjungi. Curug Malela berada di Kampung Manglid Desa Cicadas, Kec Rongga, Kab. Bandung Barat,  tepatnya di dekat Gunung Halu, sekitar 50 kilometer atau kurang lebih 3 jam ke arah Barat dari Kota Bandung. Curug Malela dapat memberikan atmosfir berbeda bagi para pecinta wisata alam. Wisata alam yang masih asli inilah merupakan “tawaran” yang cukup memikat bagi wisatawan. Ditambah lagi, kemiripan Curug Malela dengan Niagara. 
Sebelum memasuki Curug Malela, dibutuhkan waktu yang cukup lama.  Anda harus jalan kaki melewati kawasan perkebunan teh yang terhampar sangat luas serta harus melewati bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi. Di sepanjang perjalanan, Anda akan merasakan sejuknya suasana pedesaan dan udaranya yang masih bersih. Dibandingkan dengan suasana perkotaan, tentu saja ini sangat berbeda. Jalanan ke arah curug memang kurang memadai. Jika Anda memakai mobil, dibutuhkan mobil yang biasa untuk off road, karena jalan raya menuju ke curug, rusak parah. Begitu juga jika Anda memakai motor, diperlukkan motor trail.  Jika memakai kendaraan yang biasa, dikhawatirkan akan mengalami kerusakan. 
Akses jalan menuju ke Curug Malela masih minim fasilitas. Anda diharapkan berhati-hati dalam perjalanan menuju curug, karena jalanan berbatu, disamping kanan kiri terdapat jurang yang terjal, bertanah merah, dan jalanan akan sangat licin apabila terkena air hujan. Anda harus pintar-pintar memilih jalan, karena jika tidak kendaraan akan terselip di jalanan yang licin. Bagi pecinta wisata alam, disitulah letak keseruannya. Dalam perjalanan, Anda diharapkan selalu memperhatikan petunjuk jalan ke arah curug, agar Anda tidak tersesat ke tempat lain, papan petunjuk jalan memang masih minim. Di beberapa titik ada papan petunjuk tetapi sangat kecil dan hanya beberapa kali terlihat disepanjang perjalanan.
Kendaraan Anda tidak langsung berhenti dekat dengan Curug Malela. Anda diharuskan menyimpan kendaraan jauh dari curug karena lokasi curug harus menuruni gunung terlebih dahulu.  Jarak menuju curug kurang lebih 800 meter dan akses jalan juga masih kurang memadai. Beberapa titik jalan sudah ditembok tapi cukup banyak juga titik jalan yang belum ditembok. Hanya beberapa meter dari pintu masuk dan beberapa meter jalan yang terjal saja yang ditembok. Sedangkan jalan yang tidak begitu terjal dibiarkan alami agar suasana mendaki pegunungan masih dirasakan oleh pengunjung. Disana juga terdapat 2 tempat persinggahan yang disediakan untuk beristirahat serta kamar mandi yang cukup memadai untuk pengunjung curug.
Butuh perjuangan yang luar biasa untuk sampai ke Curug Malela. Sesampainya di curug Anda akan disuguhkan oleh pemandangan alam yang sangat menawan. Air terjun yang tingginya mencapai 40 meter dan lebar 30 meter tersebut, dapat langsung menghilangkan rasa capek. Air terjun dari atas gunung tersebut sangat jernih dan tidak pernah berhenti mengalir ketika musim kemarau, hanya saja jika musim hujan warna air akan berubah menjadi coklat.
Jika Anda berencana untuk berwisata ke Curug Malela disarankan agar memiliki kondisi fisik yang kuat. Bagi para pecinta alam, ini salah satu keunikan saat melakukan perjalanan. Tapi, bagi masyarakat biasa, berwisata ke Curug Malela ini membutuhkan kekuatan yang tidak biasa. Tak salah, jika sepulangnya dari Curug Malela, banyak wisatawan yang kelelahan.

Sumberna ti : http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/stcontent.php?id=27&lang=id

Legenda "Nyai Roro Kidul"

 Inna Samudra Beach adalah satu dari 16 unit Inna Hotel Group dibawah naungan PT.Hotel Indonesia Natour,berlokasi di kota Palabuhanratu - Jawa Barat, tepatnya pada kawasan pantai Laut Selatan yang dipagari oleh pegunungan dengan koordinat 6°57,815'S 106°30,428'E, hutan tropis dengan lintasan sungai-sungai yang menggambarkan sebuah keindahan alam yang memikat serta sarat akan budaya dan legenda.
 
Satu dari legenda yang sangat dikenal berkaitan dengan kota Palabuhanratu, yaitu Legenda Ratu Laut Selatan atau Nyai Loro Kidul, yang secara singkat dapat digambarkan dalam ceritera sebagai berikut :
Konon, Jawa Barat pernah diperintah oleh seorang Raja yang sangat berkuasa, yang bernama Prabu
Ia seorang Raja yang sangat terkenal serta bijaksana. Ia memiliki seorang Permaisuri yang cantik serta beberapa orang Selir. Pada suatu hari sang Permaisuri melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Kehadiran bayi kecil ini membuat mereka sangat berbahagia, tetapi hal ini tidak disukai oleh para Selir Raja. Bayi itu tumbuh menjadi besar dan wajahnya lebih cantik dan pada ibunya, ia dinamai Putri Lara Kadita dan dia akan menjadi ahli waris dari tahta kerajaan ayahnya. Oleh karena itu Raja sangat mencintai dan mengasihi Putri Lara Kadita.
 
Sementara itu para Selir yang berusaha untuk menyingkirkan Putri Lara Kadita, membuat suatu persekongkolan. Mereka menggunakan ilmu hitam untuk menghancurkan kehidupan Permaisuri beserta putrinya yang cantik itu, dan akhirnya kuasa jahat dan ilmu hitam itu telah membuat wajah Permaisuri beserta putrinya menjadi sangat busuk serta tubuh mereka menjadi berbau busuk. Karena keadaan mereka sangat mengerikan, maka sang Raja memerintahkan mereka untuk meninggalkan istana, sebab kalau dibiarkan mereka akan membawa bencana bagi seluruh kerajaan.
 
Maka pergilah mereka dari istana dan berkelana tak tentu arah didalam hutan. Mereka menyusuri jalan-jalan sepi agar tidak bertemu dengan orang lain yang tanpa disadari mereka menuju ke arah selatan. Penderitaan mereka sangat berat dan tidak tertahankan, sampai akhirnya sang Permaisuri meninggal dunia dalam perjalanan pengembaraannya. Tinggallah Putri Lara Kadita seorang diri dalam keadaan putus asa. Ia terus mengembara dan mengalami banyak penderitaan tanpa seorang pun yang menghiburnya.
 
Pada suatu hari karena terlalu lelah dan lapar, ia jatuh pingsan, ketika ia sadar kembali didengarnya suara deburan ombak dari arah selatan. Suara ini membangkitkan semangatnya untuk kembali melanjutkan perjalanannya, lalu ia berjalan terus kearah suara itu dan akhirnya ia melihat suatu pemandangan yang sangat indah, suatu lautan yang luas dengan ombak — ombak besar yang menerjang batu karang di pantai. Lalu duduklah ia dan beristirahat di salah satu batu karang tersebut, yang kini dinamakan Karanghawu dan menjadi objek wisata yang terkenal dan berlokasi sekitar 8 Km di sebelah barat Inna Samudra Beach.
 
Pada saat ia duduk di atas batu karang itu, ia tertidur dan bermimpi. Didalam mimpinya ia diberi tahu bahwa keadaan dan kecantikannya dapat dipulihkan bila ia membersihkan dirinya dengan melompat ke dalam laut dan menenggelamkan dirinya. Setelah terjaga dan tidurnya, ia pun berdiri di pingggir batu karang itu dan melompat ke dalam laut. Ternyata tubuhnya pulih dan wajahnya pun menjadi cantik kembali. Sejak saat itu, ia menjadi Ratu di laut itu dan memerintah atas bagian selatan Pulau Jawa dan sejak saat itu pula ia bergelar " Nyai Loro Kidul" yang artinya "Ratu Laut Selatan".
 
Sebagian besar masyarakat di daerah Palabuhanratu sampai saat ini masih percaya akan kuasa yang memerintah di Laut Selatan, Maka untuk memperingati hal itu, tanggal 6 April ditetapkan sebagai Hari Nelayan bagi masyarakat kota Palabuhanratu¬Sukabumi, dimana dalam perayaannya selalu dilaksanakan kegiatan Pesta Laut (Labuh Saji) yang tujuan intinya tiada lain adalah untuk memohon agar Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan perlindungan dan kemakmuran.
 
Berkaitan dengan Legenda serta kepercayaan dan sebagian masyarakat, maka di Samudra Beach Hotel telah terkondisikan sebuah ruangan khusus sebagai gambaran dari Legenda Nyai Loro Kidul, yaitu kamar #308 yang didalamnya dapat ditemui berbagai perlengkapan serta lukisan yang berkaitan dengan Legenda Nyai Loro Kidul dan berasal dari para pengunjung Domestik maupun Manca Negara.
 
Akan merupakan sebuah pengalaman yang menarik bagi para pengunjung Inna Samudra Beach apabila telah mengetahui keberadaan kamar #308, karena dengan lebih mengetahui gambaran tentang legenda tersebut maka dapat turut melestarikan budaya dan legenda masyarakat Indonesia khususnya Jawa Barat.
 
Adapun adanya pendapat serta pengalaman tentang hal-hal lain yang berkaitan dengan kamar #308, selanjutnya dikembalikan kepada keyakinan dan kepercayaan yang ada pada diri pribadi masing-masing.
 
Sumberna ti : Samudra Beach Hotel

Paciwit-ciwit lutung 'kaulinan' tradisional sunda

DAHULU, anak-anak di perkampungan memiliki banyak sekali kaulinan (permainan), mulai dari yang merangsang daya pikir (kognitif), mengasah rasa (koaktif), hingga yang menuntut ketrampilan dan kecakapan (psikomotorik). Dam-daman, congklak, lelempengan, dan sumput beling adalah contoh permainan yang merangsang kerja otak. Slep dur, pecle/sondah, dan paciwit-ciwit lutung mengajak anak untuk belajar menggunakan rasa dan melatih naluri. Jajangkungan/egrang, bebedilan, sorodot gaplok, ucing-ucingan menggiring anak untuk melatih ketrampilan.
Anak-anak zaman dahulu yang hidup di kampung secara tidak langsung mendapat pendidikan dan pengajaran yang komprehensif dari permainan karena permainan mereka menyangkut tiga aspek yang menjadi objek pendidikan yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kendati mereka hidup di pedalaman, kecerdasan, daya nalar, perasaan, solidaritas, dan kreativitas mereka berkembang dengan bagus.
Kenyataan ini sangat berbeda dengan anak-anak yang hidup di zaman teknologi. Mereka cenderung bersifat robbophat karena segala bentuk permainannya sudah dengan tombol (digit). Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang manja karena di sekililingnya serba instan dan serba mudah tanpa harus menjalani perjuangan seperti ketika anak-anak kampung akan membuat mobil-mobilan dari pelepah aren atau cangkang jeruk.
Dari sekian banyak permainan, yang menarik untuk dicermati adalah paciwit-ciwit lutung. Permainan ini baetul-betul merupakan menyangkut pengendalian rasa, tenggang rasa antara sesama teman. Filosofinya, setiap orang akan mengalami hidup suka dan duka. Suatu saat ia berada di atas menjadi pemimpin (stake holder), di saat lain ia pun harus menjadi orang yang di bawah (rakyat). Suatu saat ia akan menikmati kebahagiaan dan di saat lain ia akan mengalami kepahitan. Namun, baik kebahagiaan maupun kesedihan, baik kesenangan maupun penderitaan tidak boleh terlepas dari keterikatan batin (hubungan sosiologis) dengan sesama manusia. Paciwit-ciwit lutung juga mengajari anak-anak untuk hidup dalam kebersamaan, keharmonisan dalam duka dan suka, bersikap sosialis tidak individualis.
Konon, setiap jenis permainan yang ada di kampung, selain merangsang kecerdasan, memperhalus perasaan, dan meningkatkan keterampilan, juga memiliki nilai filosofi yang luar biasa. Ia merupakan gambaran kehidupan, baik yang bersifat horozontal (hablun minanas) maupun yang bersifat vertikal (hablun minallah).
Paciwit-ciwit lutung adalah permainan penuh makna yang hingga kini masih tetap aktual bahkan dijadikan jargon dalam setiap aktivitas berbau bisnis. Kita sering mendengar orang-orang yang berbisnis secara berangkai akan mengatakan, "Urang paciwit-ciwit lutung lah, urang saeutik sewang, saciwit sewang." 
Istilah paciwit-ciwit lutung juga sangat populer di kalangan kontraktor pemenang tender, pebisnis, birokrat, eksekutif, yudikatif, bahkan office boy.
Paciwit-ciwit lutung juga telah mengantarkan kaum birokrat untuk mengotak-atik anggaran, menyalahgunkan wewenang, dan menggasab uang yang bukan menjadi haknya. Akibatnya, ketika sebuah kasus korupsi terbongkar --baik skala besar maupun skala kecil-- banyak pihak yang terkait, banyak pihak yang terseret. Sehingga mereka berusaha saling melindungi saling menutupi. Saat diperiksa oleh penyidik, secara mendadak mereka terserang penyakit isomnia atau serangan jantung. Dalam istilah hukum inilah yang disebut milangering, akal-akalan dan berpura-pura agar terlepas dari jeratan hukum, minimal terlepas dari tahanan kurungan.
Karena kasus paciwit-ciwit lutung pulalah, dunia mendadak gonjang-ganjing ketika Nazarudin sesumbar akan membongkar semua orang yang terlibat. Namun, karena paciwit-ciwit lutung pula Nazarudin pasang badan, mengambil sikap "toleran", tutup mulut, asal anak istrinya selamat.
Paciwit-ciwit lutung telah menjadi intrik. Di dalamnya ada "kebersamaan", "solidaritas", dan bahkan "tekanan" (cubitan yang lebih keras dari tangan paling atas) untuk saling melindungi, menjaga kehormatan dan harga diri, serta memunculkan kesan bersih.
Paciwit-ciwit lutung telah berubah dari makna positif menjadi sebuah sindikasi yang menggurita dan agak sulit untuk dipisahkan dari ciwitan-nya. Tinggal menunggu keberanian penegak hukum. Tentu saja yang tidak pernah terlibat kasus paciwit-ciwit lutung.

Sumberna ti : www.klik-galamedia.com

GEGER SUNTEN DAN AKI BALANGANTRANG

Geger Sunten merupakan kampung kecil yang berada di wilayah Desa Sodong Kec. Tambaksari, Ciamis. Lokasinya cukup terpencil, terletak di sebelah timur Kampung Kuta. Namun demikian, tempat ini memiliki peranan besar dalam sejarah Galuh klasik pada abad ke-7. Nama Geger Sunten muncul dalam kisah Ciung Wanara yang terkenal. Seperti yang tercatat dalam buku “Yuganing Rajakawasa” (disusun oleh Drs. Yoseph Iskandar) Geger Sunten merupakan tempat bermukimnya Aki Balangantrang. Tokoh yang aslinya bernama Sang Bimaraksa ini merupakan putra bungsu Sang Jantaka dari Denuh yang lahir tahun 653 masehi. Sang Bimaraksa muncul dalam beberapa babak konflik perebutan kekuasaan di Kerajaan Galuh.
Sang Bimaraksa adalah cucu Wretikandayun sang pendiri kerajaan Galuh, yang membantu Purbasora (putra Sempakwaja) untuk menggulingkan Sang Senna (putra Mandiminyak) yang saat itu menjadi Raja di Galuh. Sempakwaja, Jantaka dan Mandiminyak adalah putra dari Wretikandayun. Purbasora berhasil menggulingkan Sena dan mulai memerintah Galuh pada tahun 716 masehi. Dan BImaraksa Menjadi patih kerajaan Galuh. Sedangkan Sena sendiri berhasil melarikan diri dan kemudian diangkat menjadi Raja di Mataram (kalingga Utara).
Sena (putra Mandiminyak dengan Pwah Rababu) melaksanakan perkawinan manu (menikah dengan saudari sendiri) dengan Sanaha (putri Mandiminyak dengan Dewi Parwati) maka lahirlah Sanjaya tahun 683. Sanjaya berniat membalas dendam terhadap Purbasora yeng telah mengusir ayahnya, Dengan bantuanResiguru Rabuyut Sawal (penguasa di wilayah Gunung Sawal Ciamis) yang mewariskan kitab setrategi perang bernama “Pustaka Ratuning Bala Sarewu”, Sanjaya berhasil membentuk pasukan pilih tanding gabungan dari pasukan Bumi Mataram, Bumi Sembara, dan Sunda. Akhirnya Purbasora yang berusia 80 tahun gugur dibunuh Sanjaya pada pertempuran di Galuh. Namun Senapati Bimaraksa berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di Geger Sunten.
Upaya kudeta muncul lagi saat Tamperan Barmawijaya (putra Sanjaya) menjadi penguasa di Galuh. Tindakannya membunuh Permana Dikusumah secara licik karena ingin memperistri Dewi Pangrenyep diketahui oleh Bimaraksa yang namanya menjadi Aki Balangantrang. Aki Balangantrang adalah ayah dari Dewi Naganingrum yang diperistri oleh Permana Dikusumah. Dari Dewi Naganingrum, Permana Dikusumah alias Ajar Sukaresi memiliki putra bernama Sang Manarah atau lebih terkenal dengan nama Ciung Wanara.
Geger Sunten pun ahirnya dijadikan tempat untuk menghimpun dan menyusun kekuatan tempur yang dirahasiakan. Selama 6 tahun Bimaraksa berhasil menyusun pasukan dari partisan-partisan kerajaan yang pernah dikalahkan oleh Sanjaya. Diantaranya dari Saunggalah, sisa-sisa laskar Galuh, dan pasukan Indraprahasta. 
Tepat pada acara Tradisi Tahunan Sabung Ayam, pasukan Geger Sunten yang dipimpin oleh Bimaraksa dan Ciung Wanara berhasil menggulingkan Tamperan Barmawijaya dan membunuhnya. Sang Manarah pun naik tahta dan Bimaraksa kembali Senapati Galuh. Kematian Tamperan Barmawijaya dan Dewi Pangerenyep membuat murka Sanjaya. Gotrayudha pun pecah kembali, perang berkecamuk tanpa ada yang kalah dan menang. Akhirnya Sang Resiguru Demunawan dai Saunggalah berhasil melerai pertempuran itu, dan dicapailah kesepakatan perdamaian.

Sumberna ti : www.kabar-priangan.com

Gunungtilu Ciwidey, cagar alam yg belum banyak diketahui orang

Gunungtilu Pasirjambu-Pangalengan
KEKAYAAN biota Cagar Alam Gunung Tilu masih belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Padahal kawasan hutan yang terhampar di Kec. Ciwidey, Pasirjambu, dan Kec. Pangalengan Kab. Bandung ini menyimpan banyak flora langka dan satwa liar yang dilindungi.
Kawasan hutan yang ditetapkan sebagai cagar alam bersama Gunung Waringin, Gunung Kawah Ciwidey, dan Gunung Riung Gunung berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 68/Kpts/Um/2/1978 ini mempunyai luas 8.000 hektare. Terletak di ketinggian 1.030-2.140 mdpl, kawasan ini termasuk dalam tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata 2.534 mm/tahun. 
Masyarakat lebih mengenal Gunung Tilu sebagai kawasan perkebunan teh. Salah satu jenis teh yang terkenal dari perkebunan di gunung ini adalah teh putih. Jenis teh yang biasa diminum para bangsawan Inggris ini, mempunyai kandungan kaltekin dan eltian yang cukup tinggi sehingga dipercaya dapat membantu pengendalian emosi peminumnya. Selain itu, zat kaltekin dan eltian juga dapat membuat seseorang lebih aktif, sigap dan percaya diri.
Teh putih banyak diproduksi di kawasan Gunung Tilu, Kec. Ciwidey. Daun teh putih hanya dapat diperoleh dari satu pucuk daun teh, paling atas untuk tiap tangkai. Tak heran jika harga teh putih sangat mahal, kira-kira Rp 1 juta/kg.
Sebenarnya, Gunung Tilu merupakan kawasan hutan cagar alam menyimpan kekayaan biota. Sayangnya kekayaan ini lebih banyak diketahui para peneliti, baik dari dalam maupun luar negeri.
Sebagai hutan dengan tipe ekosistem hutan hujan daratan tinggi ini, di Gunung Tilu tumbuh 197 jenis flora mulai yang berukuran kecil hingga besar serta flora yang mudah ditemukan hingga yang langka. Jenis pohon yang banyak tumbuh di kawasan hutan ini adalah, saninten (Castanopsis argentea), rasamala (Altingia excelsa), kiputri (Podocarpus nerifolius), pasang (Quercus lineata), puspa (Schima walichii), kondang (Ficus variegata), dan tunggeureuk (Castanopsis tunggurut). Ada juga jenis flora yang namanya menggunakan bahasa Sunda, seperti canar bokor, huru batu, hariang, kiputri, kibanen, katulampa, panggang rante, paku oray, sulangkar, kareumbi, dan cucak kutilang.
Yang menarik, di gunung ini menyimpan kekayaan yang sangat indah, yaitu tanaman anggrek yang mencapai 48 jenis. Tanaman anggrek tersebut hidup menempel pada ratusan pohon-pohon besar yang tumbuh di Cagar Alam Gunung Tilu. Keragaman tanaman anggrek di Cagar Alam Gunung Tilu tak banyak diketahui orang. 
Beberapa jenis anggrek yang tumbuh lestari antara lain Apendikula ramosa, Agrostophyllum denbergeri, Coelogine miniata, Liparis polidata, Cymbidium roseum, dan Payus plapus. Keberagaman anggrek di Cagar Alam Gunung Tilu sempat diteliti salah seorang pakar anggrek.
Penggemar anggrek akan merasakan ketakjuban luar biasa menyaksikan berbagai jenis anggrek tumbuh dalam satu hamparan. Seperti sengaja ditanam orang, padahal tanaman anggrek tersebut tumbuh secara liar. Benar-benar seperti taman anggrek dalam ukuran raksasa.
Menurut Plh. Kepala Seksi Kantor Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah III (Kabupaten Bandung, Sumedang, dan Kota Bandung) Siswoyo mengungkapkan, anggrek yang tumbuh di Cagar Alam Gunung Tilu sangat indah. Bentuk dan motif bunganya sangat unik, termasuk wangi yang dikeluarkannya.
"Ada salah satu jenis anggrek harumnya bisa bertahan sampai satu bulan. Wangi anggrek biasanya hanya bertahan satu minggu, setelah itu hilang," ujarnya kepada "GM" di Soreang, Rabu (4/1).
Untuk menikmati keindahan tanaman anggrek ini, pengunjung harus rela berjalan masuk kedalam kawasan hutan. Apabila Anda terlalu lelah, keingintahuan Anda bisa terobati dengan sebagian tanaman anggrek yang tumbuh di bagian luar Cagar Alam Gunung Tilu.
Satwa liar
Cagar alam yang letaknya berbatasan dengan perkebunan teh ini juga menjadi tempat "bersosialisasinya" satwa liar. Siswoyo mengatakan, kawasan Cagar Alam Gunung Tilu menjadi habitat 68 jenis burung, 7 reptil, 10 ampibi, 16 mamalia, 4 primata, dan 5 jenis capung. 
Diantara satwa yang masih dapat ditemui adalah, macan tutul (Panthera pardus), bajing (Callosciurus notatus), kera (Macaca fascicularis), owa (Hylobathes moloch), lutung (Trachypitechus auratus), surili (Presbytis comata), burung elang ruyuk (Spilornis cheela), burung tulung tumpuk (Megalaima javanensis), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), dan ular sanca (Phyton reticulatus).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, di antara jenis satwa yang di Gunung Tilu, hanya monyet ekor panjang, macan tutul, dan surili yang dilindungi. Di antara ketiga satwa tersebut, yang paling unik adalah surili, karena primata ini tidak ditemukan di tempat lain sehingga menjadi maskot Cagar Alam Gunung Tilu.
Surili termasuk jenis primata yang banyak mengonsumsi daun muda atau kuncup daun sebagai makanannya. Jenis tumbuhan yang menjadi makanan surili juga sangat beragam. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa surili mengonsumsi lebih dari 75 jenis tumbuhan yang berbeda.
Surili merupakan satwa yang hanya terdapat (endemik) di Jawa Barat dan Banten. Surili hanya dapat dijumpai di kawasan lindung dan konservasi dengan jumlah yang tersisa berkisar antara 4.000-6.000 ekor di seluruh kawasan hutan Jawa Barat dan Banten. Apabila Anda berkesempatan melihat primati ini, Anda termasuk yang beruntung.
Meski tak luput dari incaran perambah hutan, namun Cagar Alam Gunung Tilu yang masih "perawan" ini, merupakan potret dari hutan rimba yang tersisa di Jawa Barat. 
Apabila Anda tertarik untuk mengunjungi kawasan hutan ini, bisa menggunakan jalur Bandung-Soreang-Pasirjambu-Gambung sekitar 156 km. Anda pun bisa menggunakan jalur Bandung-Banjaran-Cikalong-Pangalengan-Puncak Mulya sekitar 178 km. Jalur terakhir yang mencapai 197 km adalah, Bandung-Soreang-Ciwidey-Perkebunan Rancabolang-Pulau Dewata.
Kondisi jalan bervariasi, sehingga Anda harus mempersiapkan kendaraan yang akan digunakan. Namun, rasa lelah akan terobati dengan pemandangan indah di sepanjang perjalanan.

Sumberna ti : http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/stcontent.php?id=56&lang=id

Tahu Sumedang kuliner khas urang sunda

NGEUNAH ieu kadaharan teh. Mun dijual pasti payu (Makanan ini enak. Kalau dijual pasti laku).” Itulah ucapan Bupati Sumedang Pangeran Aria Soeriatmadja saat pertama kali mencicipi tahu goreng buatan Ong Kino tahun 1917.
 
Puluhan tahun kemudian tahu sumedang menjadi jenis makanan tradisional yang terkenal sekaligus menjadi penyambung hidup masyarakat Sumedang, Jawa Barat.
 
Bupati Sumedang (1883-1919) itu adalah pemimpin paling dicintai rakyat yang ilmu agamanya terkenal kuat. Keteladanan itu juga membuat masyarakat yakin, setiap perkataan sang bupati pasti terkabul. ”Saciduh metu, saucap nyata” (sekali meludah berhasil, sekali mengucap jadi kenyataan), kalimat kiasannya dalam bahasa Sunda.
 
Salah satu tuahnya turun pada usaha pembuatan tahu di Kabupaten Sumedang. Ia juga dijuluki ”Pangeran Mekkah” karena wafat saat menunaikan ibadah haji di Mekkah pada usia 70 tahun. Ia juga merupakan bupati pendiri sekolah pertanian pertama di Indonesia tahun 1941 dan Bank Prijaji pada 1901.
 
Suatu hari, dalam perjalanan menuju tempat peristirahatannya di Situraja, Sumedang, Soeriatmadja mencicipi tahu buatan Ong Kino yang dijual di depan rumahnya di pinggir Jalan Tegal Kalong, Sumedang (kini menjadi Jalan 11 April), sekitar tahun 1917. ”Petuah” itu pun meluncur dari mulutnya.
 
Hingga 95 tahun kemudian, doa bupati ke-20 Sumedang itu terbukti langgeng. Diiringi etos kerja tekun dan telaten ala masyarakat Tionghoa, usaha tahu pun berkembang. Tenaga pribumi diajak ikut serta sehingga ilmu tahu tersebar luas. Kini, keahlian membuat tahu menjadi bekal hidup banyak warga Sumedang.
 
Dengan kerenyahan, tekstur khas, dan melibatkan ribuan orang Sumedang, tahu menjadi produk khas. Asal berukuran 3 cm x 3 cm atau 2,5 cm x 3 cm, berwarna coklat muda, kulit berintik, renyah, dan gurih, di seluruh Indonesia biasanya dinamai tahu sumedang. Padahal, tidak semua penjual atau cara pembuatannya dilakukan orang Sumedang.
 
”Cur cor”
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran Nina Herlina Lubis mengatakan, pasca-penghapusan larangan tinggal, sekitar tahun 1856, banyak orang Tionghoa mulai masuk Priangan Timur, termasuk Sumedang. Berdasarkan sensus tahun 1930, jumlah orang Tionghoa di Sumedang 905 jiwa. Bandingkan dengan orang Eropa yang berjumlah 258 jiwa.
 
Celah bisnis dikembangkan perantau Tionghoa, Ong Kino, yang tiba di Sumedang awal abad ke-20. Awalnya, istri Ong Kino membuat tahu guna menuntaskan kegemaran makan suaminya. Perlahan, enaknya tahu mulai dikenal masyarakat Sumedang dan dijual di depan rumahnya. Warga Tionghoa lainnya juga ikut menjual tahu menggunakan merek Palasari dan Ojolali.
 
Berada di kaki Gunung Tampomas, Sumedang tidak pernah kekurangan air tanah. Air terus mengalir. Cur cor, kalau kata orang Sunda. Kualitas air Sumedang sangat cocok untuk membuat tahu. Sama seperti kebanyakan daerah penghasil tahu di China Selatan, air di Sumedang berkalsium, membuat tahu kenyal tanpa pengawet.
 
Selain anugerah alam, pengelolaan bahan dan cara masak khas Tionghoa juga menjadi kunci selanjutnya. Pemilik Toko Bungkeng, Suryadi, mencontohkan cara membuat tahu jadi padat berisi. Ia mengatakan, awal menggoreng adalah proses penting. Minyak harus benar-benar panas sebelum tahu dimasukkan.
 
Cara khusus lain juga dilakukan untuk menghasilkan tahu berkulit berintik. Ia mengatakan, tahu harus dimasukkan dalam keadaan basah. Dulu, untuk menambah kenikmatan, tahu digoreng menggunakan minyak kacang tanah. Akan tetapi, sekarang minyak kacang tanah berkualitas sulit didapatkan.
 
”Nyaris tidak ada rahasia. Selebihnya hanya kedelai yang digiling. Hasil gilingan dikukus menjadi tahu dan dimasukkan ke air garam. Setelah itu tinggal digoreng,” katanya.
 
Kebersihan alat dan kontrol gilingan kedelai juga tak kalah penting. Pemilik perusahaan tahu Mirasa Sindang Sari, Hernawan Safari, mengatakan, kebersihan alat penting karena sisa kedelai bisa membuat seluruh adonan baru menjadi asam. ”Mencicipi contoh adonan setiap hari juga harus dilakukan untuk menjaga kualitas dan rasa,” katanya.
 
Setia
Hujan belum juga berhenti mengguyur Sumedang, akhir pekan pada pengujung tahun 2011, saat sekitar 200 tahu di Toko Bungkeng habis terjual dalam waktu seperempat jam. Pembelinya mayoritas warga Sumedang yang sepertinya ingin melewatkan sisa hari yang dingin itu sembari makan tahu ditemani segelas teh manis panas.
 
Darso (56), warga Cipasang, Cibugel, Sumedang, mengatakan hanya membeli tahu buatan asli Sumedang sejak 20 tahun lalu. Kekenyalan dan kerenyahan tahu menjadi pemikatnya. Tahu juga tidak mudah asam dalam satu-dua hari. ”Tahu yang baru selesai digiling dan langsung digoreng adalah yang paling nikmat. Saat hujan, kenikmatannya lebih terasa,” katanya.
 
Dedi (57), pelayan di Toko Bungkeng, mengatakan, saat musim libur panjang, 10.000 tahu seharga Rp 400 per tahu terjual per hari. Pembelinya mengular di depan toko dari pagi hingga sore. Wisatawan luar negeri dari Singapura dan Malaysia pun ada di antara mereka.
 
”Kami harus membuat nomor antrean. Bisa sampai seribu nomor per hari,” kata Dedi. Di pinggiran jalan Bandung-Sumedang, Unjang (38) merasakan hal serupa. Saat musim libur, pedagang ini bisa menjual hingga 2.000 tahu per hari. Jumlah itu jauh lebih besar ketimbang produksi pada hari biasa yang sekitar 500 tahu per hari.



Tahu Sumedang


Sumberna ti : http://www.jabar.tribunnews.com

Sapintrong Salah satu 'kaulinan' anak sunda

Dikalangan anak-anak perempuan permainan sapintrong merupakan permainan yang sangat digemari. Selain dibutuhkan stratedi maupun kekuatan fisik, para pemain pun dituntut untuk berlaku jujur dan sportif. Permainan diwali dengan menentukan dua orang yang harus menjaga kedua ujung tali atau karet. Setelah ditentukan petugas yang memegang karet dan urutan pemain, permaianan pun dilakukan dengan diawali lompatan biasa. Setelah semua pemain mendapat giliran, sistim atau aturan melompat, mulai dari awal memasuki putaran karet hingga cara melompat harus sesuai yang disepakati bersama. 

sapintong
Selain dilakukan seorang diri, lompatan juga dilakukan oleh 2 sampai 3 orang. Biasanya, kesepakatan yang dilakukan antar pemain adalah jumlah lompatan dalam putaran karet yang harus dilakukan setiap pemain. Selain itu kesepakatan yang dilakukan adalah kecepatan karet yang diputar oleh dua orang pemain. Tidak ada istilah kalah dan menang dalam permainan ini bila dilakukan secara perorangan. Mereka yang tidak mampu melakukan kesepakatan aturan, dialah yang mendapat tugas memegang ujung karet dan mendapat perintah sesuai kesepakatan para pemain. Permainan ini biasanya dilakukan oleh tidak lebih dari 10 orang.

sumberna ti : http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=1011&lang=id

Jumat, 13 Januari 2012

wayang golek

Wayang

Pengrajin wayang golek
Wayang adalah bentuk teater rakyat yang sangat popular. Orang sering menghubungkan kata “wayang” dengan ”bayang”, karena dilihat dari pertunjukan wayang kulit yang memakai layar, dimana muncul bayangan-bayangan. Di Jawa Barat, selain wayang kulit, yang paling populer adalah wayang golek. Berkenaan dengan wayang golek, ada dua macam diantaranya wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang ada di daerah Sunda. Kecuali wayang wong, dari semua wayang itu dimainkan oleh seorang dalang sebagai pemimpin pertunjukan yang sekaligus menyanyikan suluk, menyuarakan antawacana, mengatur gamelan mengatur lagu dan lain-lain. А

[sunting] Perkembangan

Wayang Golek Sunda
Sebagaimana alur cerita pewayangan umumnya, dalam pertunjukan wayang golek juga biasanya memiliki lakon-lakon baik galur maupun carangan yang bersumber dari cerita Ramayana dan Mahabarata dengan menggunakan bahasa Sunda dengan iringan gamelan Sunda (salendro), yang terdiri atas dua buah saron, sebuah peking, sebuah selentem, satu perangkat boning, satu perangkat boning rincik, satu perangkat kenong, sepasang gong (kempul dan goong), ditambah dengan seperangkat kendang (sebuah kendang Indung dan tiga buah kulanter), gambang dan rebab.
Sejak 1920-an, selama pertunjukan wayang golek diiringi oleh sinden. Popularitas sinden pada masa-masa itu sangat tinggi sehingga mengalahkan popularitas dalang wayang golek itu sendiri, terutama ketika zamannya Upit Sarimanah dan Titim Patimah sekitar tahun 1960-an.
Dalam pertunjukan wayang golek, lakon yang biasa dipertunjukan adalah lakon carangan. Hanya kadang-kadang saja dipertunjukan lakon galur. Hal ini seakan menjadi ukuran kepandaian para dalang menciptakan lakon carangan yang bagus dan menarik. Beberapa dalang wayang golek yang terkenal diantaranya Tarkim, R.U. Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Cecep Supriadi dll.
Pola pengadegan wayang golek adalah sebagai berikut; 1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara; 2) Babak unjal, paseban, dan bebegalan; 3) Nagara sejen; 4) Patepah; 5) Perang gagal; 6) Panakawan/goro-goro; 7) Perang kembang; 8) Perang raket; dan 9) Tutug.
Salah satu fungsi wayang dalam masyarakat adalah ngaruat, yaitu membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Beberapa orang yang diruwat (sukerta), antara lain: 1) Wunggal (anak tunggal); 2) Nanggung Bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia); 3) Suramba (empat orang putra); 4) Surambi (empat orang putri); 5) Pandawa (lima putra); 6) Pandawi (lima putri); 7) Talaga Tanggal Kausak (seorang putra dihapit putri); 8) Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua orang putra), dan sebagainya.
Wayang golek saat ini lebih dominan sebagai seni pertunjukan rakyat, yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material. Hal demikian dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di masyarakat misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain adakalanya diriingi dengan pertunjukan wayang golek.

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_golek

kasenian urang sunda

Degung asli sunda


Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di Jawa Barat, antara lain Gamelan Salendro, Pelog dan Degung. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain. Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurang akrab di masyaraka dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di masyarakat. Hal ini menandakan cukup terwakilinya seperangkat gamelan dengan keberadaan gamelan salendro, sementara gamelan degung dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat. Gamelan lainnya adalah gamelan Ajeng berlaras salendro yang masih terdapat di kabupaten Bogor, dan gamelan Renteng yang ada di beberapa tempat, salah satunya di Batu Karut, Cikalong kabupaten Bandung. Melihat bentuk dan interval gamelan renteng, ada pendapat bahwa kemungkinan besar gamelan degung yang sekarang berkembang, berorientasi pada gamelan Renteng.
Ada gamelan yang sudah lama terlupakan yaitu KOROMONG yang ada di Kp. Lamajang Desa Lamajang Kec. Pangalengan Kab. Bandung. Gamelan ini sudah tidak dimainkan sejak kira-kira 35 – 40 tahun dan sudah tidak ada yang sanggup untuk menabuhnya karena gamelan KOROMONG ini dianggap mempunyai nilai mistis. Gamelan KOROMONG ini sekarang masih ada dan terpelihara dengan baik. Untuk supaya gamelan KOROMONG ini dapat ditabuh, maka kata yang memegang dan merawat gamelan tersebut harus dibuat Duplikatnya.

Menyimak Sejarah Degung

tim degung Seni Sunda Degung, Sejarah dan PerkembangannyaDegung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreasi urang Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata “De gong” (gamelan, bahasa Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.
Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (1791—1828).

Perkembangan Seni Sunda Degung

Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan (instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (1912—1920) melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena membuat suasana kurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.
Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang, Anang Thayib, merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut. Oleh karena itu dia mengajukan permohonan kepada bupati agar diijinkan menggunakan degung dalam hajatannya, dan diijinkannya. Mulai saat itulah degung digunakan dalam hajatan (perhelatan) umum. Permohonan semacam itu semakin banyak, maka bupati memerintahkan supaya membuat gamelan degung lagi, dan terwujud degung baru yang dinamakan Purbasasaka, dipimpin oleh Oyo.
Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah. Kemudian penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak Idi. Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut. Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan. Tahun 1926 degung dipakai untuk illustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung. Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.
Setelah Idi meninggal (tahun 1945) degung tersendat perkembangannya. Apalagi setelah itu revolusi fisik banyak mengakibatkan penderitaan masyarakat. Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun 1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu yang telah ada, mereka menciptakan pula lagu-lagu baru dengan nuansa lagu-lagu degung sebelumnya. Tahun 1956 degung mulai disiarkan secara tetap di RRI Bandung dengan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih dengan musik degung dengan iringan degung lagu palwa. Bunyi degung lagu Palwa setiap kali terdengar tatkala pembukaan acara warta berita bahasa Sunda, sehingga dapat meresap dan membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat.
Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. Selanjutnya E. Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung dengan lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog. Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh yang memelopori degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti dikemukakan Enoch Atmadibrata, degung wanita dipelopori oleh para anggota Damas (Daya Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata (menantu Oyo).
Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam degung. Tetapi hal ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya Mandalakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) melengkapi degung dengan waditra gambang, saron, dan rebab. Kelengkapan ini untuk mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu Wibisana. Gamelan degung ini dinamakan degung Si Pawit. Degung ini juga digunakan untuk pirigan wayang Pakuan. Dari rekaman-rekaman produksi Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi dapat didengarkan degung yang menggunakan waditra tambahan ini. Lagu-lagu serta garap tabuhnya banyak mengambil dari gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas, dsb. Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung yang nadanya berorientasi pada gamelan salendro (dwi swara). Bentuk ancak bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu itu, surupannya lebih tinggi. Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R. Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk mengiringi gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana.
Tahun 1970—1980-an semakin banyak yang menggarap degung, misalnya Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan Kustyara, dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas. Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri. Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan Kalangkang yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986). Lagu Kalangkang ini lebih populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun 1987.
Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an) dimana para penyanyi degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden; ronggeng), para penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an) kebanyakan berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria maupun wanita. Juru kawih degung yang populer dan berasal dari kalangan mamaos di antaranya Euis Komariah, Ida Widawati, Teti Afienti, Mamah Dasimah, Barman Syahyana, Didin S. Badjuri, Yus Wiradiredja, Tati Saleh dan sebagainya.
Lagu-lagu degung di antaranya: Palwa, Palsiun, Bima Mobos (Sancang), Sang Bango, Kinteul Bueuk, Pajajaran, Catrik, Lalayaran, Jipang Lontang, Sangkuratu, Karang Ulun, Karangmantri, Ladrak, Ujung Laut, Manintin, Beber Layar, Kadewan, Padayungan, dsb. Sedangkan lagu-lagu degung ciptaan baru yang digarap dengan menggunakan pola lagu rerenggongan di antaranya: Samar-samar, Kembang Ligar, Surat Ondangan, Hariring Bandung, Tepang Asih, Kalangkang, Rumaos, Bentang Kuring, dsb.

Perkembangan Degung di Mancanegara

Di luar Indonesia pengembangan degung dilakukan oleh perguruan tinggi seni dan beberapa musisi, misalnya Lingkung Seni Pusaka Sunda University of California (Santa Cruz, USA), musisi Lou Harrison (US), dan Rachel Swindell bersama mahasiswa lainnya di London (Inggris), Paraguna (Jepang), serta Evergreen, John Sidal (Kanada). Di Melbourne, Australia, ada sebuah set gamelan degung milik University of Melbourne yang seringkali digunakan oleh sebuah komunitas pencinta musik Sunda untuk latihan dan pementasan di festival-festival.



sumberna ti : http://www.proghita.com/seni-sunda-degung-sejarah-dan-perkembangannya/

Rabu, 11 Januari 2012

aksara kaganga

Huruf Kaganga (ke ge nge) berbeda pelafalan pada daerah-daerah tertentu.
Kanganga dengan daerah Komering akhiran semua huruf dibaca a (ka ga nga),
pada daerah Kayu Agung dibaca é (ké gé ngé),
pada daerah Besemah dan Ogan dibaca e (ke ge nge),
pada daerah Lintang dan Serawai (Lampung) dibaca o (ko go ngo).
  1. Kaganga Rencong
  2. Kaganga Rejang
Berikut dibawah ini adalah contoh tulisan kaganga:

Free Kakashi Cursors at www.totallyfreecursors.com
k
n
i
a
u
n
b
i
s
r
E
p
n
a
a
z
z
i
p
k
n
i
a